Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Diusir Prancis Karena Terkait Terorisme, Tunisia Bersedia Menerima Kembali Warganya Dengan Sejumlah Syarat

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Sabtu, 07 November 2020, 15:55 WIB
Diusir Prancis Karena Terkait Terorisme, Tunisia Bersedia Menerima Kembali Warganya Dengan Sejumlah Syarat
Menteri Dalam Negeri Prancis Gerald Darmanin saat melakukan konferesi pers bersama Menteri Dalam Negeri Tunisia Taoufik Charfeddine/Net
rmol news logo Pemerintah Tunisia menyatakan kesediaannya untuk menarik kembali warga negaranya yang diusir dari Prancis, namun dengan sejumlah syarat.

Kesepakatan itu tercapai setelah Menteri Dalam Negeri Prancis Gerald Darmanin melakukan kunjungan ke Tunisia untuk membahas langkah-langkah melawan radikalisasi Islam, menyusul serangan mematikan di Nice bulan lalu yang diduga dilakukan oleh seorang jihadis Tunisia.

"Kami siap menerima semua warga Tunisia", kata Menteri Dalam Negeri  Tunisia Taoufik Charfeddine, seperti dikutip dari AFP, Jumat (6/11).

"Tapi ini harus dilakukan sejalan dengan kondisi dan peraturan di bawah hukum dan konvensi internasional, dan menjaga martabat Tunisia," lanjutnya.

Di hari yang sama, Menteri dalam negeri Prancis juga bertemu dengan Presiden Tunisia Kais Saied.

Sumber yang dekat dengan Darmanin mengatakan menjelang pembicaraan bahwa ia akan menyerahkan kepada pihak berwenang daftar dari sekitar 20 warga Tunisia yang akan diusir Prancis, atas dasar bahwa mereka telah dihukum dengan tuduhan kasus terorisme atau dicurigai memiliki kecenderungan jihadis.

Menurut rencana, Menteri dalam negeri Prancis akan mengunjungi Aljazair pada hari Minggu (8/11) untuk misi serupa.

Opini publik di Tunisia memusuhi kembalinya tersangka jihadis, dan pihak berwenang telah menolak pemulangan warganya dari Prancis atas dasar pembatasan perjalanan yang terkait dengan pandemi virus corona.

Warga negara Tunisia telah menjadi bagian yang signifikan dari jihadis asing di Suriah, Irak dan Libya selama dekade terakhir.

Pada tahun 2015, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan bahwa sekitar 5.000 warga Tunisia berkumpul terutama ke Suriah dan Libya untuk bergabung dengan kelompok Negara Islam (ISIS), sementara pihak berwenang di Tunis memberikan angka yang lebih rendah yaitu tiga ribu.

Kembalinya mereka telah menjadi perhatian di Tunisia, yang berada dalam keadaan darurat menyusul serangkaian serangan yang diklaim ISIS pada 2015 dan 2016.

Sumber yang dekat dengan Darmanin mengatakan bahwa 70 persen dari lebih dari 230 orang asing secara ilegal di Prancis dan diduga radikalisme berasal dari wilayah Maghreb, yang meliputi Tunisia dan Aljazair, serta dari Rusia.

Kunjungannya ke Tunis telah dijadwalkan beberapa waktu lalu, tetapi menjadi urgensi baru menyusul pembunuhan 29 Oktober terhadap tiga orang di sebuah gereja di kota Nice, Prancis selatan.

Tersangka pelaku serangan itu, Brahim Aouissaoui yang berusia 21 tahun, yang tiba secara ilegal di Eropa pada akhir September, bukanlah orang Tunisia pertama yang diduga melakukan serangan jihadis mematikan di Eropa.

Pada 2016, Mohamed Lahouaiej-Bouhlel yang berusia 31 tahun menabrakkan truk ke kerumunan Hari Bastille di tepi laut Nice, menewaskan 86 orang.

Masih di tahun yang sana, seorang warga Tunisia Anis Amri (24) melakukan serangan serupa di pasar Natal Berlin dan menewaskan 12 orang. ISIS mengklaim kedua pria itu sebagai pengikutnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA