Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Akhir Perang Yang Pahit, Pemimpin Artsakh Ungkap Yang Sebenarnya Terjadi Pada Tentara Armenia Di Nagorno-Karabakh

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Jumat, 13 November 2020, 06:23 WIB
Akhir Perang Yang Pahit, Pemimpin Artsakh Ungkap Yang Sebenarnya Terjadi Pada Tentara Armenia Di Nagorno-Karabakh
Pemimpin Artsakh, Arayik Harutyunyan/Net
rmol news logo Warga Artsakh di Nagorno-Karabakh harus menelan kepahitan bertubi-tubi. Perang yang berlangsung sangat lama yang merenggut sanak saudara dan harta benda, masih harus ditambah dengan keputusan menyakitkan yang dibuat pimpinan mereka: sebagian wilayah Nagorno-Karabakh telah menjadi milik Azerbaijan.

Setelah pertempuran selama berbulan-bulan yang mengorbankan ribuan nyawa dan kehancuran, Armenia akhirnya menyerahkan beberapa distriknya.

Pemimpin Artsakh (wilayah yang selama ini dikenal sebagai Nagorno-Karabakh) Arayik Harutyunyan menarik napas dalam-dalam sebelum berpidato pada Selasa lalu seperti dikutip dari Armn Info, Kamis (12/11).

"Saya tidak tahu bagaimana sejarah akan mengevaluasi keputusan yang kami buat kemarin. Namun, kami wajib melakukannya," kata Harutyunyan dengan sangat pilu. “Jika permusuhan (perang) berlanjut terus menerus dengan kecepatan yang sama, kami akan kehilangan seluruh Artsakh dalam hitungan hari.”

Harutyunyan menguraikan apa yang membuat Armenia 'kalah'.

"Kami mengalami banyak korban jiwa kemarin di wilayah Martuni, pada jam-jam terakhir. Tentara kelelahan karena Covid-19," jelas Harutyunyan

“Kami tidak ingin percaya bahwa tidak mungkin bertempur dengan potensi manusia dan peralatan militer yang ada,” lanjutnya.

Keputusan pahit untuk menandatangani perjanjian dan melepaskan sebagian besar wilayah yang mereka kuasai adalah satu-satunya jalan untuk meraih 'kedamaian', sehingga tidak akan ada lagi korban jiwa dan kerugian yang lebih dalam.

“Tampaknya kami berhasil mempertahankan diri dari drone selama beberapa hari. Namun, dalam dua hari terakhir, saya tidak tahu bagaimana, melalui teknologi baru atau drone baru, musuh memiliki kesempatan untuk memberikan kerusakan yang lebih besar pada pasukan kami. Semua hancur."

Situasinya begitu pahit. Cuaca yang sangat panas, kondisi tentara yang kelelahan setelah selama beminggu-minggu siaga di tengah Covid-19, musuh yang besar yang dibantu dengan peralatan canggih, semua itu telah menjatuhkan mental tentara Armenia.

“Mental pasukan tidak terlalu baik, mereka sangat tertekan secara psikologis dan fisik. Bisa dikatakan kondisi mereka sangat buruk. Kelelahan karena wasir, disentri, dan Covid-19. Tentara berada di garis depan selama 43 hari, dan kami tidak memiliki kesempatan untuk jeda, beristirahat, atau menjalani pemulihan," urai Harutyunyan.

Seiring dengan jatuhnya mental tentara dan serangan penyakit yang meluas di antara pasukan, Harutyunyan menyoroti bahwa pasukan Armenia tidak hanya berperang melawan Azerbaijan tetapi juga pasukan multinasional.

“Tentu kami tidak berperang melawan Azerbaijan, dan yang pasti tidak hanya perwira Turki atau peralatan militer yang berada di medan perang selama permusuhan. Ada partisipasi tentara Turki, teroris, tentara bayaran dari berbagai negara juga,” lanjutnya, menegaskan bahwa Armenia 'diserbu' oleh tentara-tentara dari segala penjuru.

Sekarang, perang di Artsakh telah berakhir. Bagi Harutyunyan, yang menyaksikan pertempuran-pertempuran itu di wilayahnya, akhir dari perang itu amat menyakitkan. Ribuan nyawa telah hilang. Harta benda hancur luluh tanpa sisa. Harutyunyan menggambarkan bagaimana situasi mengenaskan di Artsakh selama perang berlangsung.

Armenia akhirnya menerima kesepakatan dengan Rusia dan Azerbaijan untuk menyerahkan sebagian besar wilayah mereka yang selama ini menjadi konflik berdarah.

"Saya menundukkan kepala untuk tentara-tentara Armenia, orang paling heroik di dunia adalah wajib militer kita. Saya menghormati keluarga dan kerabat dari semua korban. Selanjutnya, kami harus menyelamatkan nyawa dari yang masih tersisa saat ini," katanya.

Armenia harus mengakui kekalahannya. Mereka belum siap secara militer untuk menghadapi Azerbaijan. Ancaman perang telah ada selama bertahun-tahun, tetapi tidak pernah ada persiapan militer yang diperlukan.

Dengan kemenangan di pihak Azerbaijan dan kesepakatan yang menyedihkan itu, penduduk asli Armenia, yaitu warga Artsakh di Nagorno-Karabakh, harus tersingkir dari tanah mereka. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA