Sebagai bagian dari festival tahunan ini, lampu dinyalakan sebagai tanda perayaan serta harapan umat manusia. Perayaan ini terfokus pada lampu dan cahaya, terutama pada lampu "diya" tradisional. Tidak jarang juga warga India menggunakan petasan dan kembang api untuk memeriahkan festival, meski ada larangan yang diberlakukan.
Sayangnya, sehari setelah festval tersebut, kabut asap menyelimuti sebagian wilayah India, terutama di bagian utara negara tersebut.
Ratusan juta orang di India utara bangun pagi di hari Minggu (15/11) dengan disambut oleh udara beracun, sisa Diwali.
Ibukota New Delhi saja diselimuti kabut tebal, dengan tingkat polusi rata-rata lebih dari sembilan kali lipat dari yang dianggap aman oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Kepala Menteri Delhi Arvind Kejriwal sebelumnyatelah melarang penggunaan dan penjualan petasan sebelum Diwali. Namun larangan itu agaknya sulit dipatuhi oleh masyarakat.
Banyak orang yang bersuka ria di ibu kota melepaskan sejumlah besar kembang api hingga Minggu pagi (15/11).
Hal itu memicu kegeraman warga dan pencinta lingkungan yang menumpahkan kekesalan di sosial media karena mengalami kesulitan bernapas dan mata yang pedih.
"Dewa kami pasti sangat bahagia hari ini, sehingga pengikut mereka memecahkan petasan dan mencekik anak-anak muda hingga putus asa dan mati," kata pendiri kelompok lingkungan nirlaba Swechha Vimlendu Jha, seperti dikabarkan
CNN. Sebenarnya, polusi udara bukan merupakan masalah baru yang dihadapi oleh India. Di New Delhi, polusi udara biasanya memburuk pada bulan Oktober dan November setiap tahunnya karena para petani membakar limbah pertanian, pembangkit listrik tenaga batu bara, lalu lintas dan hari-hari tanpa angin.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: