Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Menengok Sejarah Sahara Maroko, Di Mana Posisi Polisario?

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/amelia-fitriani-1'>AMELIA FITRIANI</a>
LAPORAN: AMELIA FITRIANI
  • Jumat, 20 November 2020, 01:07 WIB
Menengok Sejarah Sahara Maroko, Di Mana Posisi Polisario?
Sahara Maroko merupakan wilayah yang tidak lepas dari sejarah panjang Kerajaan Maroko/Net
rmol news logo Wilayah Sahara Maroko atau Sahara Barat kembali menjadi perhatian masyarakat internasional. Perhatian dunia tertuju ke wilayah itu setelah kelompok separatis Front Polisario melanggar perjanjian gencatan senjata dengan Kerajaan Maroko yang telah berlangsung selama 29 tahun pada akhir pekan kemarin.

Konflik antara Maroko dan Polisario ini menjadi tema yang dibahas dalam pertemuan rutin Dewan Kerjasama Perdagangan dan Investasi Indonesia-Maroko (DK-PRIMA) yang diselenggarakan Kamis malam (19/11). Pertemuan dihadiri mantan Dubes RI untuk Maroko, Tosari Wijaya, dan Presiden DK-PRIMA Heppy Trenggono bersama sejumlah pengurus lain.

Bila melihat kembali perjalanan sejarah, Polisario agaknya tidak memiliki "tempat" di Sahara Maroko yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Kerajaan Maroko.

"Kerajaan Maroko berdiri sejak abad ke-9 dan merupakan salah satu negara tertua di dunia,” ujar Direktur Bidang Promosi, Media Luar Negeri DK-PRIMA, Teguh Santosa, dalam pertemuan virtual itu.

Sejarah mengenai konflik di Sahara Maroko, kata Teguh, setidaknya dapat ditarik dari Konferensi Berlin di tahun 1884-1885. Di dalam konferensi yang dipimpin Kanselir Jerman Otto von Bismarck tersebut negara-negara superpower di Eropa sepakat untuk membagi-bagi benua Afrika, seolah-olah itu adalah tanah kosong yang tidak didiami manusia.

“(Superpower Eropa) membagi Afrika untuk menghindari konflik di antara mereka. Mereka sepakat siapa dapat apa," terangnya sambil menayangkan peta yang memperlihatkan pembagian wilayah kekuasaan Eropa di Afrika.

Di awal era yang disebut Scrambled for Africa itu, Kerajaan Maroko masih "aman", alias tidak tersentuh oleh kekuasaan negara-negara Eropa.

Baru pada tahun 1912, dalam Treaty of Fez atau Traktat Fez (sering juga disebut Fes), Sultan Abdelhafid menyerahkan Maroko kepada Prancis dan menjadikannya protektorat.

"Melalui Perjanjian Fez di bulan Maret 1912, Maroko bersedia berada di bawah Prancis. Lalu pada bulan November 1912 Prancis berbagi kekuasaan dengan Spanyol. Prancis menyerahkan wilayah selatan (Maroko) kepada Spanyol. Wilayah ini yang sekarang kita kenal dengan nama Sahara Barat (atau disebut juga Sahara Maroko)," sambung Teguh yang juga merupakan Presiden Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Maroko.

Maroko Raya

Kekuasaan Prancis di utara Maroko berakhir pada tahun 1956. Walau Prancis telah angkat kaki dari bagian utara Maroko namun Spanyol enggan menyerahkan wilayah-wilayah Maroko yang mereka kuasai, baik yang berada di Gurun Sahara maupun yang berada di utara pada pesisir Laut Mediterania.

"Sejak saat itu pula, orang-orang di utara Maroko berusaha untuk membebaskan Maroko (terutama yang berada di bagian selatan) dengan berbagai cara, termasuk perang gerilya demi mengusir Spanyol," tambahnya.

Sementara itu, sebagai bagian dari semangat menghapuskan kolonialisasi di muka bumi pasca Perang Dunia Kedua, di tahun 1960 PBB mengeluarkan Resolusi 1514 tentang Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples. Melalui Resolusi 1514 itu disusunlah daftar Non Self-Governing Territory, dimana Sahara Barat masuk di dalamnya.  

"Untuk menyikapi Resolusi 1514 ini, Partai Istiqlal Maroko menerbitkan peta Greater Morocco atau Maroko Raya pada tahun 1964. Di dalam peta itu digambarkan wilayah Maroko sebelum dibagi oleh Prancis dan Spanyol," terang dosen Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini.

Dengan menerbitkan peta itu, Partai Istiqlal hendak mengatakan kepada dunia bahwa wilayah-wilayah yang tergambarkan di dalam peta itu mestilah dikembalikan kepada Maroko seperti sebelum era Scrambled for Africa. Peta itu meliputi seluruh wilayah Maroko kini, sebagian wilayah Aljazair, sebagian Mali, dan sebagian Mauritania.

Adapun Front Polisario baru didirikan para pejuang Maroko dari utara dan dari selatan (orang-orang Sahrawi) pada tahun 1973 di Kamp Tindouf. Di dalam peta yang diterbitkan Partai Istiqlal di tahun 1964, Tindouf termasuk bagian dari Maroko Raya. Namun kini Tindouf merupakan bagian dari Aljazair.

Kemudian, menyusul krisis ekonomi yang berubah menjadi krisis politik di Eropa barat pada tahun 1974, Spanyol akhirnya mengumumkan rencana angkat kaki dari Sahara Maroko atau Sahara Barat. Pengunduran diri baru benar-benar mereka lakukan pada 1976.

Dinamika Baru

Setelah Spanyol mengumumkan niat angkat kaki dari Sahara tercipta sebuah dinamika baru di kawasan itu. Kelompok Polisario yang tadinya merupakan alat pembebasan wilayah selatan Maroko dari Spanyol perlahan tapi pasti berubah menjadi kelompok yang ingin melepaskan diri tidak hanya dari Spanyol tetapi juga dari Maroko. Polisario menginginkan Sahara Barat menjadi negara sendiri.

Perbedaan pandangan ini pun diangkat hingga ke Mahkamah Internasional atau International Court of Justice (ICJ). Pada tahun 1975 ICJ menerbitkanan penilaian yang mengatakan bahwa Sahara Maroko adalah tanah kosong atau terra nullius sebelum Prancis berkuasa. Namun dalam penilaian yang sama ICJ juga mengakui bahwa Sahara Maroko memiliki hubungan erat dengan Maroko  di masa lalu .

"Satu sisi penjelasan ICJ ini menguntungkan Polisario. Tapi satu sisi lainnya menguntungkan Kerajaan Maroko," kata Teguh.

Juga di tahun 1975, dalam Perjanjian Madrid atau Madrid Accord antara tiga negara yakni Mauritania, Maroko, dan Spanyol, disepakati Mauritania meninggalkan Sahara Barat.

Sebagai protes atas hasil Perjanjian Madrid, Polisario mendirikan Republik Demokratik Arab Sahrawi, juga di Tindouf.

Sejak itu, perang terbuka terjadi antara Maroko melawan Polisario dan negara boneka yang mereka dirikan.

Kedua pihak, Maroko dan Polisario sepakat untuk gencatan senjata pada tahun 1991. Untuk selanjutnya pembicaraan untuk menentukan nasib Sahara Maroko dilakukan di berbagai forum, diawali dengan pembicaraan di Manhasset, New York, pada 2007 hingga 2008, dan pembicaraan di Komisi IV PBB yang menangani isu politik khusus dan dekolonisasi.

Sepanjang masa itu, kedua pihak sepakat untuk menghentikan saling serang, sampai komitmen tersebut dirusak oleh pernyataan Pemimpin Front Polisario Brahim Ghali akhir pekan kemarin.

Brahim Ghali mengatakan bahwa pihaknya tidak akan lagi mematuhi komitmen gencatan senjata di Sahara Maroko. Sebelum itu Front Polisario kerap pula berbuat onar di penyeberangan El Guergarat yang merupakan zona penyangga. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA