Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

WHO Peringatkan Bahaya 'Infodemik' Yang Disebar Ahli Teori Konspirasi

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Kamis, 26 November 2020, 15:25 WIB
WHO Peringatkan Bahaya 'Infodemik' Yang Disebar Ahli Teori Konspirasi
Ilustrasi/Net
rmol news logo Pada awal Februari, ketika pandemi global menyebar dengan cepat, Organisasi Kesehatan Dunia mengeluarkan peringatan tentang bahaya ‘infodemik’, yaitu gelombang berita palsu dan informasi yang salah tentang penyakit baru yang mematikan di media sosial.

Sekarang, di saat harapan bergantung pada vaksin Covid-19, WHO dan para ahli memperingatkan bahwa fenomena yang sama dapat membahayakan peluncuran program imunisasi yang dimaksudkan untuk mengakhiri penderitaan.

“Penyakit virus corona adalah pandemi pertama dalam sejarah di mana teknologi dan media sosial digunakan dalam skala besar untuk membuat orang tetap aman, terinformasi, produktif dan terhubung,” kata WHO, seperti dikutip dari AFP, Kamis (26/11).

“Pada saat yang sama, teknologi yang kami andalkan untuk tetap terhubung dan terinformasi memungkinkan dan memperkuat infodemik yang terus merusak respons global dan membahayakan langkah-langkah untuk mengendalikan pandemic,” lanjutnya.

Lebih dari 1,4 juta orang telah meninggal sejak pandemi muncul di China akhir tahun lalu, tetapi sudah ada tiga pengembang sudah mengajukan permohonan persetujuan agar vaksin mereka digunakan pada awal Desember.

Di luar logistik, pemerintah juga harus menghadapi keraguan atas vaksin yang dikembangkan dengan kecepatan tertinggi pada saat media sosial telah menjadi alat untuk informasi dan kebohongan tentang virus

WHO mendefinisikan infodemik sebagai informasi yang melimpah, baik online maupun offline, termasuk upaya yang disengaja untuk menyebarkan informasi yang salah.

Bulan lalu, sebuah studi dari Cornell University di Amerika Serikat menemukan bahwa Presiden AS Donald Trump telah menjadi pendorong informasi salah Covid-19 terbesar di dunia selama pandemi.

Pada bulan April, Trump memikirkan kemungkinan menggunakan disinfektan di dalam tubuh untuk menyembuhkan virus dan juga mempromosikan perawatan yang tidak terbukti.

Sejak Januari, AFP bahkan telah menerbitkan lebih dari 2.000 artikel pengecekan fakta yang membongkar klaim palsu tentang virus corona baru.

“Tanpa kepercayaan yang tepat dan informasi yang benar, tes diagnostik tidak digunakan, kampanye imunisasi (atau kampanye untuk mempromosikan vaksin yang efektif) tidak akan memenuhi target mereka, dan virus akan terus berkembang,” kata WHO.

Tiga pengembang vaksin, yakni Pfizer, Moderna dan AstraZeneca saat ini tengah memimpin dalam  penemuan awal vaksin, beberapa pemerintah juga sudah berencana untuk mulai memvaksinasi mereka yang paling rentan tahun ini.

Tetapi dengan banyaknya disinformasi soal vaksin di media sosial seperti Facebook, Twitter, YouTube atau WhatsApp dikhawatirkan itu akan memperlambat proses vaksinasi.

“Disinformasi kini telah mencapai skala yang tidak dapat dipungkiri,” kata Sylvain Delouvee, seorang peneliti Psikologi Sosial di Rennes-2 University.

Rory Smith dari situs web anti-disinformasi, First Draft setuju dengan hal tersebut.

“Dari perspektif informasi, (krisis virus corona) tidak hanya menggarisbawahi skala misinformasi di seluruh dunia, tetapi juga dampak negatif misinformasi terhadap kepercayaan pada vaksin, institusi, dan temuan ilmiah secara lebih luas,” katanya.

Rachel O'Brien, kepala departemen imunisasi WHO, mengatakan badan tersebut khawatir informasi palsu yang disebarkan oleh apa yang disebut gerakan ‘anti-vaxxer’ dapat menghalangi orang untuk mengimunisasi diri mereka sendiri terhadap virus corona.

"Kami sangat prihatin tentang itu dan prihatin bahwa orang-orang mendapatkan info mereka dari sumber yang dapat dipercaya, bahwa mereka sadar bahwa ada banyak informasi di luar sana yang salah, entah sengaja salah atau tidak sengaja," katanya kepada AFP.

Steven Wilson, seorang profesor di Brandeis University dan rekan penulis studi berjudul ‘Social Media and Vaccine Hesitancy’ yang diterbitkan di British Medical Journal bulan lalu, melihat hubungan antara kampanye disinformasi online dan penurunan vaksinasi.

“Ketakutan saya terkait dampak disinformasi di media sosial dalam konteks Covid-19 akan meningkatkan jumlah individu yang ragu untuk mendapatkan vaksin, meski ketakutan mereka tidak memiliki dasar ilmiah,” katanya.

“Vaksin apa pun hanya seefektif kapasitas kami untuk menyebarkannya ke suatu populasi.”

Di antara klaim yang lebih aneh oleh para ahli teori konspirasi, misalnya, adalah gagasan bahwa pandemi virus corona baru adalah tipuan atau bagian dari rencana elit, yang didalangi oleh orang-orang seperti Bill Gates, untuk mengendalikan populasi.

Dan program vaksinasi, kata kelompok-kelompok itu, adalah perisai untuk menanamkan chip mikroskopis pada orang untuk memantaunya.

Gagasan seperti itu dapat menemukan lahan subur pada saat jajak pendapat menunjukkan bahwa orang-orang di beberapa negara, seperti Swedia dan Prancis, sudah skeptis tentang penggunaan vaksin, terutama ketika pengobatan telah dikembangkan dalam waktu singkat tanpa studi jangka panjang yang tersedia di kemanjurannya dan kemungkinan efek sampingnya.

Bulan lalu, jajak pendapat oleh Iposos menunjukkan bahwa hanya 54 persen orang Prancis yang akan mengimunisasi diri mereka sendiri terhadap virus corona, 10 poin persentase lebih rendah daripada di AS, 22 poin lebih rendah daripada di Kanada, dan 33 poin lebih rendah daripada di India.

Di 15 negara, 73 persen orang mengatakan mereka bersedia divaksinasi Covid-19, empat poin persentase lebih rendah daripada jajak pendapat sebelumnya pada Agustus.

Tapi ini bukan hanya vaksin - semakin banyak orang mengungkapkan ketidakpercayaan yang meningkat pada institusi, kata para ahli.

“‘Tema umum’ yang beredar di antara para ahli teori konspirasi adalah bahwa 'elit' kami berbohong kepada kami,” kata Delouvee dari Universitas Rennes-2.

Disinformasi didasarkan pada ketidakpercayaan yang tumbuh terhadap semua otoritas kelembagaan, baik itu pemerintah atau ilmiah.

“Ketika orang tidak dapat dengan mudah mengakses informasi yang dapat dipercaya seputar vaksin dan ketika ketidakpercayaan pada aktor dan institusi yang terkait dengan vaksin tinggi, narasi informasi yang salah segera masuk untuk mengisi kekosongan,” kata laporan situs First Draft. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA