Hal itu disampaikannya dalam sebuah wawancara bersama
Arab News, untuk menanggapi situsai yang kini berkembang di antara masyarakat Prancis pasca serentetan serangan teroris baru-baru ini melanda negara itu.
“Kita harus mendidik Muslim yang sering mengabaikan agamanya sendiri, dan kita juga harus menjelaskan kepada non-Muslim bahwa Islamisme adalah fenomena yang sangat kompleks dan bahwa tidak setiap Muslim adalah teroris,†kata Oubrou, seperti dikutip dari
Arab News, Senin (30/11).
Pada 29 Oktober, tiga orang tewas dalam serangan penikaman di dekat basilika Notre-Dame di kota Nice, Prancis selatan. Itu terjadi setelah pembunuhan keji seorang guru sekolah Prancis pada 16 Oktober di dekat Paris karena telah menggunakan karikatur Nabi Muhammad dalam pelajaran tentang kebebasan berekspresi.
Komentar Oubrou menggemakan temuan survei yang dilakukan oleh lembaga jajak pendapat Inggris YouGov atas nama Arab News, yang menunjukkan mayoritas warga negara Prancis asal Arab menghormati nilai-nilai dan sekularisme Prancis. Namun, menurut jajak pendapat yang sama, warga Prancis yang sama ini tidak merasa diterima dan bahkan merasa distigmatisasi.
Ketika ditanya soal serangan berdarah di luar katedral Nice pada Oktober lalu, Oubrou mengatakan bahwa itu adalah level baru terorisme, karena dilakukan sendirian tanpa melibatkan suatu organisasi terosis mana pun.
“Ini adalah level baru terorisme, yang tidak memiliki doktrin, tidak ada hukum dan tidak ada keyakinan. Ini adalah bentuk terorisme yang tidak memiliki struktur maupun organisasi. Efek psikologisnya kacau dan mengerikan karena tidak dapat diprediksi dan hanya membutuhkan sedikit sumber daya,†ungkapnya.
“Itu dapat mengenai siapa saja kapan saja tanpa memiliki target tertentu. Itu membunuh orang yang tidak bersalah sementara kita tidak tahu apa-apa tentang klaimnya,†lanjut Oubrou.
Obrou mengatakan tujuan teroris adalah menyebarkan perpecahan antara Muslim dan masyarakat.
“Anda tahu, kita hidup di dunia yang terbuka untuk semua risiko. Kita tidak harus mendramatisir. Kita harus menghadapi masalah dengan ketenangan dan kecerdasan.â€
Menjawab pertanyaan tentang aksi boikot terhadap produk-produk Prancis Obrou mengatakan itu terjadi karena adanya kesalahpahaman karena perbedaan prinsip.
“Ada kesalahpahaman yang besar, karena dunia Muslim yang menganggap karikatur adalah kehendak pemerintah, tidak mengenal kebebasan berekspresi atau pemisahan kekuasaan. Mereka tidak tahu bahwa kekuatan media bukanlah atas perintah kekuatan politik dan bahwa rakyat bebas. Mereka menganggap bahwa karena Emmanuel Macron membela kebebasan berekspresi, dia membela karikatur nabi. Tidak ada alasan untuk menggunakan kekerasan ketika seseorang dapat menanggapi pelanggaran dengan kecerdasan,†jelasnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: