Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pengamat: Berani Serang China? Lihat Cara Beijing Perlakukan Canberra

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Rabu, 02 Desember 2020, 07:50 WIB
Pengamat: Berani Serang China? Lihat Cara Beijing Perlakukan Canberra
Ilustrasi/Net
rmol news logo Pengamat kawasan menilai dunia harus memperhatikan cara Beijing memperlakukan Canberra, menyusul agresi yang kian meningkat yang diluncurkan China terhadap Australia, mulai dari memperkenalkan pajak bea cukai baru hingga trolling di Twitter.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Ini adalah pertikaian yang melengkapi perseteruan sebelum-sebelumnya.

Australia yang terengah karena agresi pajak China kembali dikejutkan dengan sebuah cuitan tak terduga dari Zhao Lijian, juru bicara kementerian luar negeri Tiongkok.

Zhao mengunggah sebuah gambar satir yang menunjukkan seorang tentara Australia yang sedang menyeringai memegang pisau berdarah di tenggorokan seorang anak Afghanistan yang sedang menggendong seekor domba pada Senin (30/11).

Dalam unggahan itu, Zhao mengatakan bahwa dia terkejut oleh pembunuhan warga sipil Afghanistan dan tahanan oleh tentara Australia.

Tweet ini terkait dengan penyelidikan yang memberatkan oleh inspektur jenderal militer Australia sendiri yang dikeluarkan pada 19 November yang menyimpulkan pasukan khusus elit telah "secara tidak sah membunuh" setidaknya 39 warga sipil dan Tahanan Afghanistan.

Tapi apa hubungan kekejaman itu dengan China? Tampaknya tidak ada, selain memberikan amunisi baru kepada Zhao untuk memperburuk hubungan China-Australia yang semakin berkonflik.

"Provokasi terbaru dari Zhao merupakan pernyataan paling ofensif yang dapat dibuat saat ini untuk Canberra karena menyentuh titik yang sangat sensitif di Australia", kata John Lee, seorang analis di Merics (Mercator Institute for China Studies), yang berbicara kepada France 24, Selasa (1/12).

"Mereka tidak pernah seburuk sekarang," kata Heribert Dieter, seorang spesialis di Australia dan masalah geopolitik di Institut Jerman untuk Urusan Internasional, seperti dikutip dari AFP, Selasa (1/12).

Peningkatan tensi saat ini sebenarnya dimulai pada awal tahun 2020, ketika Australia menjadi negara pertama yang menyerukan penyelidikan independen untuk menentukan asal mula epidemi virus corona.

"Ini semakin menyinggung Beijing sejak Australia pertama kali berhasil melewati media, tampaknya tanpa melalui saluran diplomatik yang biasa," kata Lee.

Sejak itu China berulang kali memberlakukan pajak bea cukai atas ekspor Australia dengan sasaran jelai, anggur, daging sapi, dan makanan laut.

Pada bulan November, kedutaan besar China bahkan mengeluarkan berkas rinci dari 14 keluhan terhadap Australia setelah perselisihan diplomatik mereka yang berkepanjangan atas perdagangan.

China mengkritik apa yang digambarkannya sebagai subsidi pemerintah Australia untuk proyek penelitian 'anti-China', lalu kecaman Canberra terhadap kebijakan China di Xinjiang dan Hong Kong, dan veto pemerintah Australia atas selusin proyek investasi China di Australia.

"China marah. Jika Anda menjadikan China sebagai musuh, China akan menjadi musuh," kata seorang pejabat pemerintah China seperti dikutip pada briefing dengan wartawan Sydney Morning Herald di Canberra pada 18 November.

Rangkaian baru ketegangan diplomatik-komersial ini adalah puncak dari kerusakan progresif selama hampir empat tahun dalam hubungan antara kedua negara.

"Pada 2016, kontroversi di Australia atas pemberian sewa selama 99 tahun kepada sebuah perusahaan China untuk mengelola Pelabuhan Darwin (yang dekat dengan pangkalan militer AS) adalah salah satu tanda pertama masalah masa depan antara kedua negara," kata Lee.

Sejak saat itu, Australia sering menjadi orang pertama yang mengecam tindakan China di sejumlah area berbeda.

"Mereka melarang Huawei mengembangkan jaringan 5G-nya di Australia pada awal 2018, mereka adalah orang pertama yang memberi label tindakan China di Laut China sebagai ilegal dan kemudian mereka memberikan tekanan awal untuk penyelidikan independen terhadap asal mula pandemi Covid-19," kata Patrick Kollner, wakil presiden GIGA Institute for Asian Studies.

Sejumlah pengamat mengatakan bahwa, apa yang dilakukan China terhadap Australia bisa menjadi sinyal bagi negara lain yang berani menyerang mereka.

"Idenya adalah bahwa China menggunakan Australia sebagai contoh. Mereka dapat menggunakan Australia untuk mengirim sinyal ke negara lain yang mungkin tergoda untuk mengkritik Beijing," kata Kollner.

"Kita seharusnya tidak menipu diri kita sendiri. Setelah Canberra, Beijing bisa menghadapi Berlin atau Paris," kata Dieter.

Dia mengatakan serangan terhadap Australia ini menggambarkan untuk pertama kalinya bagaimana Beijing mencoba mengontrol cara orang berbicara tentang China di negara-negara maju yang besar.

Nampaknya sangat mungkin bahwa daftar 14 poin yang terkenal itu memasukkan kritik keras terhadap liputan media Australia tentang berita China.

"Karena tidak dapat mentolerir kebebasan berbicara di dalam negeri, Beijing sekarang tampaknya juga bermaksud untuk mengendalikan pidato di luar negeri," tulis Financial Times. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA