Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pandemi Virus Corona Bangkitkan Kembali Trauma Para Penyintas ISIS Irak

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Kamis, 03 Desember 2020, 11:15 WIB
Pandemi Virus Corona Bangkitkan Kembali Trauma Para Penyintas ISIS Irak
Ilustrasi para penyintas/Net
rmol news logo Salah satu penyintas kekejaman pasukan ISIS di Irak mengaku terus dihantui mimpi buruk tentang para jihadis yang menguasai kampung halamannya di Irak utara.

Zedan, salah satu kaum Yazidi yang berusia 21 tahun, misalnya, baru mulai pulih ketika Covid-19 menghidupkan kembali traumanya. Perlu setengah dekade untuk Zedan bisa menghilangkan mimpi-mimpi buruk yang selalu mendatanginya setiap malam.
 
Sulit untuk berbicara tentang trauma atau masalah psikologis. Hal ini masih dianggap tabu. Para penyintas meminta nama mereka disamarkan saat berbicara dengan AFP. Seperti Zedan yang mulanya enggan untuk bercerita.

Zedan mengaku telah kehilangan beberapa kerabatnya ketika kelompok Negara Islam menyerbu Sinjar, jantung dari agama minoritas Yazidi di barat laut Irak. Para jihadis membunuh kaum laki-laki Yazidi, mengambil anak laki-laki mereka untuk dijadikan tentara anak-anak dan memaksa kaum perempuan menjadi budak seksual.

Zedan dan anggota keluarganya yang selamat berhasil melarikan diri, mencari perlindungan di kamp Bajet Kandala dekat perbatasan Suriah di mana mereka masih tinggal sampai sekarang.

“Kami dulu petani yang hidup enak. Lalu ISIS datang,” katanya sambil meremas-remas tangannya, seperti dikutip dari AFP, Kamis (3/12).

Di gedung bekas pabrik yang menampung klinik kesehatan mental kamp, Zedan berbagi traumanya dengan Bayda Othman, seorang psikolog untuk LSM internasional Premiere Urgence.

Zedan menyebut kekerasan 2014 secara samar-samar sebagai ‘peristiwa’. Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan mengatakan hal itu lebbih dari sekedar peristiwa biasa, mereka menyebut itu merupakan sesuatu yang jauh lebih serius: genosida.

“Saya mulai mengalami mimpi buruk setiap malam. Saya akan melihat orang-orang berbaju hitam datang untuk membunuh kami,” kata Zedan, seraya memberi tahu Othman bahwa dia telah mencoba bunuh diri beberapa kali.

Zedan telah telah bertemu Othman selama bertahun-tahun, belajar bagaimana mengatasi Gangguan Stres Pasca Trauma (PTSD) melalui latihan pernapasan yang dia ajarkan kepadanya. Awal tahun ini, serangan panik malamnya berhenti. Akhirnya, dia bisa tidur lagi. Tapi hanya untuk beberapa bulan.

Pada bulan Maret, Irak mengumumkan penguncian nasional untuk mencoba menahan penyebaran Covid-19. Trauma Zedan kembali datang.

“Saya khawatir keluarga saya bisa tertular virus atau memberikannya kepada saya. Itu membuatku terobsesi,” katanya.

Saat penguncian berlarut-larut, saudara laki-laki Zedan kehilangan pekerjaannya di toko alat tulis di tepi kamp.

“Tidak ada lagi uang yang masuk ke keluarga sekarang. Hanya memikirkannya saja sudah membuat saya panik,” katanya.

“Mimpi buruk kembali, dan begitu pula keinginan saya untuk mati,” ucapnya lirih.

Dari 40 juta warga Irak, satu dari empat rentan mental, kata Organisasi Kesehatan Dunia. Tetapi negara ini sangat kekurangan spesialis kesehatan mental, dengan hanya tiga dari satu juta orang.

Di kamp-kamp di Irak, yang masih menampung sekitar 200 ribu orang yang mengungsi akibat kekerasan, pandemi telah mendorong banyak orang dengan masalah psikologis ke dalam remisi, kata Othman.

“Kami melihat munculnya kembali kasus PTSD, upaya bunuh diri dan pikiran untuk bunuh diri,” katanya kepada AFP.

Pada bulan Oktober, ada tiga percobaan bunuh diri di Bajet Kandala oleh para pengungsi, yang mengatakan bahwa pergerakan mereka di luar kamp dibatasi oleh penguncian, atau yang situasi ekonominya semakin memburuk.

Menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), sekitar seperempat warga Irak yang dipekerjakan sebelum penguncian telah diberhentikan secara permanen. Kaum muda sangat terpukul: 36 persen dari usia 18-24 tahun yang telah bekerja dipecat, kata ILO.

Tapi para spesilis telah memperingatkan bahwa trauma bukan satu-satunya masalah bagi para pengungsi.

“Dengan isolasi dan kurangnya akses ke perawatan, anak-anak yang mengalami genosida mengalami kesulitan saat mereka dewasa,” kata Lina Villa, kepala unit kesehatan mental di rumah sakit yang dikelola oleh Doctors Without Borders (MSF) di Irak utara.

“Kami khawatir angka bunuh diri akan naik di tahun-tahun mendatang.” rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA