Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Perang Telah Berakhir, Namun Perjuangan Melawan Stres Pasca-Trauma Baru Saja Dimulai

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Sabtu, 05 Desember 2020, 14:46 WIB
Perang Telah Berakhir, Namun Perjuangan Melawan Stres Pasca-Trauma Baru Saja Dimulai
Tentara Armenia yang terkena ledakan/Net
rmol news logo Perang Nagorno-Karabakh atau disebut Perang Karabakh kedua, telah berakhir. Namun,  perang yang dimulai pada 27 September itu telah meninggalkan trauma psikologis yang sangat serius.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Orang-orang yang ketakutan selama perang berlangsung, mendengar suara peluru dan rudal,  melihat mayat-mayat yang rusak karena hantaman bom, serta perlakuan tidak manusiawi dari mereka yang berperang, harus menjadi tanggung jawab bersama. Tetapi siapa?

“Goris kota perbatasan, di sini luka dari perang pertama masih belum sembuh total. Benar, selama perang itu saya masih kecil, tetapi saya mendengar banyak cerita tentangnya. Ketika mereka mengatakan bahwa saya akan dikirim ke Artsakh untuk mengangkut yang terluka, jelas itu akan sulit. Saya bahkan tidak dapat membayangkan bahwa saya akan benar-benar masuk neraka."

Itu kisah yang terlontar dari mulut Arthur, laki-laki 32 tahun yang berprofesi sebagai sopir ambulan. Cuplikan kisah yang diangkat dari sebuah artikel di Jam News ini mengisahkan bagaimana Arthur harus berjuang atas trauma yang dialaminya.

Arthur sangat mengenal kota kelahirannya itu yang terus menerus dilanda perang. Di tengah ketakutannya, dia tetap  harus menyelamatkan nyawa puluhan pasien di kampung halamannya di Goris.

Selama perang, hampir semua ambulans dari pemukiman terdekat Armenia dikirim ke Karabakh.

Pada bulan pertama perang, dia mengangkut 143 tentara yang terluka dengan mobilnya. Beberapa dari mereka dalam keadaan yang sangat hancur.

“Cedera perang ini sangat berbeda, karena senjatanya berbeda. Mereka mengalami luka di anggota badan, kehilangan lengan, kaki, bahkan wajah hancur karena pecahan peluru," Arthur tergidik.

Selama perang berlangsung, sampai perang berakhir, Arthur menyadari bahwa sesuatu sedang terjadi padanya. Dia terus-terusan didera mimpi buruk. Hatinya kerap gelisah dan keringat dingin mengucur terus. Di kepalanya hanya ada gambar-gambar menakutkan tentang api, peluru yang meletus, darah yang mengalir, suara erangan, tangisan, dan tubuh-tubuh yang terkapar. Tangannya gemetar dan nafsu makannya menghilang.

Keluarganya telah meminta bantuan Kementerian Pertahanan Armenia.

Selama Perang Karabakh Pertama di awal 90-an dan Perang Karabakh pada April 2016, satu pusat khusus ditugaskan untuk menangani stres pasca-trauma atau PTSD (post-traumatic stress disorder). Lalu baru-baru ini, bantuan psikologis ditawarkan oleh pemerintah.

Untuk para tentara, bantuan psikologis pertama disediakan oleh sebuah struktur di bawah Kementerian Pertahanan. Di pusat yang diselenggarakan di Kota Dilijan, mereka menerima perawatan rawat inap, jika memungkinkan, mengurangi kondisi stres akut.

Untuk anak-anak korban perang, ada hotline yang telah dibuat di bawah Kementerian Pendidikan, Sains, Budaya, dan Olahraga.

Sekelompok psikolog profesional dibentuk oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Sosial. Departemen ini memiliki hotline bantuan psikologis selama sekitar satu bulan, yang memberikan konsultasi melalui telepon. Layanan ini telah digunakan hingga 400 orang.

Banyak kelompok profesional telah dibentuk untuk mengatasi konsekuensi psikologis perang dan membantu para korban.

Aram Hovsepyan, pemrakarsa program, psikiater dan psikoterapis, mengatakan, ia bersama teman-temannya memberikan program bantuan psikologis untuk PTSD.

“Saya bekerja dengan orang-orang yang menderita selama perang. Program bantuan psikologis gratis ini - tidak hanya untuk tentara, tetapi juga untuk keluarga mereka,” katanya.  

Ia banyak menangani 'cedera perang', sebuah ketakutan yang dialami para tentara atas apa yang dialami atau dilihatnya selama berada di medan perang. Juga ketakutan yang menyergap para tentara karena keputusasaan bahwa mereka akan ditinggalkan begitu saja di medan perang tanpa bantuan dari pemerintah yang sibuk dengan urusannya sendiri.

“Sudah jelas bahwa kita sedang menghadapi masalah psikologis yang cukup dalam yang dapat memiliki dampak jangka panjang dan parah pada seluruh generasi," kata Aram Hovsepyan. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA