Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Doa Ratusan Warga Ethiopia Di Gereja Pengungsi Sudan: Ingin Hidup Damai Dan Kembali Ke Rumah

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Senin, 07 Desember 2020, 12:45 WIB
Doa Ratusan Warga Ethiopia Di Gereja Pengungsi Sudan: Ingin Hidup Damai Dan Kembali Ke Rumah
Pengungsi Ethiopia berkumpul di wilayah Qadarif, Sudan.Konflik di Ethiopia membuat ribuan orang melarikan diri dari wilayah Tigray ke Sudan/Net
rmol news logo Sekitar 400 umat Kristen Ortodoks menghadiri misa terbesar di Gereja Jibreel (Gabriel) sejak dibuka kembali lebih dari seminggu yang lalu untuk para pengungsi di Kamp Um Raquba dekat perbatasan dengan Ethiopia, di mana pertempuran pecah di wilayah Tigray utara pada bulan November lalu.

Sejumlah pengunjung terlihat menitikkan air mata saat pastor memimpin litani khusyuk untuk perdamaian dan hak mereka untuk kembali ke rumah masing-masing.

“Saya terus berdoa siang dan malam agar perdamaian kembali ke negara kita, sehingga kita semua bisa kembali... dan hidup dalam damai dan harmoni,” kata Pendeta Abba Gabrielmaskal Admasu setelah misa,  seperti dikutip dari AFP, Senin (7/12).

Admasu menjelaskan, ini bukan pertama kalinya gereja dibangun pada 1979 oleh para migran Ethiopia mengadakan misa untuk pengungsi.

Di antara mereka yang menghadiri misa pada Minggu (6/12), ada beberapa orang yang mengenang kembali saat mereka menemukan perlindungan di Um Raquba dari bencana kelaparan Ethiopia pada pertengahan 1980-an. Bencana itu sendiri menewaskan ratusan ribu orang, yang tercatat sebagai salah satu bencana kemanusiaan terburuk di abad ke-20.

Pada tahun 2000, saat sebagian besar pengungsi Ethiopia telah kembali ke tanah air mereka, kamp dan gereja itu ditutup. Namun dibuka kembali sejak Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed melancarkan operasi militer di Tigray, dengan mengatakan mereka menargetkan para pemimpin partai yang berkuasa, Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF).

Sejak itu, lebih dari 48 ribu warga Ethiopia telah mengungsi di serangkaian kamp yang tersebar di daerah perbatasan Sudan timur, termasuk Um Raquba, menurut badan pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Dengan lebih dari 95 persen orang Etiopia Tigrayan berasal dari agama Kristen Ortodoks, pendeta, Admasu, memutuskan untuk membuka kembali pintu gereja Jibreel.

“Tidak ada yang suka tinggal di negara asing. Karena menjadi pengungsi berarti Anda tidak memiliki kebebasan ... dan Anda tidak memiliki hak untuk bergerak bebas karena Anda berada di bawah perlindungan,” ungkapnya.

“Yang sangat penting bagi kami sekarang adalah perdamaian, karena kami memiliki segalanya di negara kami. Tapi sekarang, kami kehilangan segalanya, termasuk budaya kami yang indah,” tambahnya.

Misa pada hari Minggu berlangsung di luar di bawah terik matahari, di bawah salib kayu yang bertengger di atas gedung gereja.

"Tanpa gereja, tidak ada kehidupan, bagi kami gereja sangat penting," kata Gitta Suheili, di antara ribuan warga Ethiopia yang selamat dari pengungsian pada 1980-an dan harus kembali ke Sudan sebagai pengungsi dalam beberapa pekan terakhir.

Seorang wanita bernama  Meresa Raye, yang telah berulang kali mengungsi ke gereja itu mengaku tak menyangka akan mengalami apa yang ia rasakan 30 tahun silam.

"Tiga puluh tahun lalu saya di sini, lalu saya kembali ke negara saya. Tapi sekarang, karena konflik, saya di sini lagi di Sudan, yang membuat saya sangat sedih," katanya.

“Ketika saya meninggalkan gereja ini, saya tidak pernah menyangka saya harus kembali,” lanjutnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA