Sejumlah pengunjung terlihat menitikkan air mata saat pastor memimpin litani khusyuk untuk perdamaian dan hak mereka untuk kembali ke rumah masing-masing.
“Saya terus berdoa siang dan malam agar perdamaian kembali ke negara kita, sehingga kita semua bisa kembali... dan hidup dalam damai dan harmoni,†kata Pendeta Abba Gabrielmaskal Admasu setelah misa, seperti dikutip dari
AFP, Senin (7/12).
Admasu menjelaskan, ini bukan pertama kalinya gereja dibangun pada 1979 oleh para migran Ethiopia mengadakan misa untuk pengungsi.
Di antara mereka yang menghadiri misa pada Minggu (6/12), ada beberapa orang yang mengenang kembali saat mereka menemukan perlindungan di Um Raquba dari bencana kelaparan Ethiopia pada pertengahan 1980-an. Bencana itu sendiri menewaskan ratusan ribu orang, yang tercatat sebagai salah satu bencana kemanusiaan terburuk di abad ke-20.
Pada tahun 2000, saat sebagian besar pengungsi Ethiopia telah kembali ke tanah air mereka, kamp dan gereja itu ditutup. Namun dibuka kembali sejak Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed melancarkan operasi militer di Tigray, dengan mengatakan mereka menargetkan para pemimpin partai yang berkuasa, Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF).
Sejak itu, lebih dari 48 ribu warga Ethiopia telah mengungsi di serangkaian kamp yang tersebar di daerah perbatasan Sudan timur, termasuk Um Raquba, menurut badan pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dengan lebih dari 95 persen orang Etiopia Tigrayan berasal dari agama Kristen Ortodoks, pendeta, Admasu, memutuskan untuk membuka kembali pintu gereja Jibreel.
“Tidak ada yang suka tinggal di negara asing. Karena menjadi pengungsi berarti Anda tidak memiliki kebebasan ... dan Anda tidak memiliki hak untuk bergerak bebas karena Anda berada di bawah perlindungan,†ungkapnya.
“Yang sangat penting bagi kami sekarang adalah perdamaian, karena kami memiliki segalanya di negara kami. Tapi sekarang, kami kehilangan segalanya, termasuk budaya kami yang indah,†tambahnya.
Misa pada hari Minggu berlangsung di luar di bawah terik matahari, di bawah salib kayu yang bertengger di atas gedung gereja.
"Tanpa gereja, tidak ada kehidupan, bagi kami gereja sangat penting," kata Gitta Suheili, di antara ribuan warga Ethiopia yang selamat dari pengungsian pada 1980-an dan harus kembali ke Sudan sebagai pengungsi dalam beberapa pekan terakhir.
Seorang wanita bernama Meresa Raye, yang telah berulang kali mengungsi ke gereja itu mengaku tak menyangka akan mengalami apa yang ia rasakan 30 tahun silam.
"Tiga puluh tahun lalu saya di sini, lalu saya kembali ke negara saya. Tapi sekarang, karena konflik, saya di sini lagi di Sudan, yang membuat saya sangat sedih," katanya.
“Ketika saya meninggalkan gereja ini, saya tidak pernah menyangka saya harus kembali,†lanjutnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: