Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf mengatakan, dalam sebuah konflik bersenjata, Hukum HAM Internasional mengenal adanya pembedaan yakni kombatan dan non kombatan.
“Warga sipil adalah bagian dari non kombatan yang harus dilindungi dan tidak boleh menjadi sasaran sengketa bersenjata. Pembunuhan terhadap 39 warga sipil Afganistan oleh tentara Australia adalah pelanggaran HAM Internasional,†ucap Al Araf dalam keterangannya, Senin (7/12).
Adanya kasus tersebut, kata Al Araf, harus menjadi pelajaran bagi Indonesia dalam menyikapi dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan prajurit TNI di dalam negeri.
“Seperti kasus penembakan Pendeta Yeremia di Kabupaten Intan Jaya,†imbuhnya.
Kritik juga disampaikan anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Banten Bidang Kerjasama Luar Negeri, Sukron Makmun, yang 14 tahun hidup di Timur Tengah. Dia mengatakan, dalam keadaan perang tidak dibenarkan membunuh warga sipil.
“Mengacu pada hukum agama Islam, di dalam perang ada hal yang harus dihindari yakni membunuh anak, wanita, warga lanjut usia, dan menghancurkan tempat ibadah," ujar Sukron.
"Tindakan membunuh sesama kombatan pun tidak boleh melampaui batas seperti merusak tubuh lawan. Kehormatan lawan pun harus dijaga,†sambungnya.
Sukron menyayangkan adanya standar ganda dalam menerapkan HAM terutama dalam rangka perlindungan HAM bagi warga di negara miskin atau berkembang yang dilakukan pihak Barat dan Negara Maju.
Situs berita Al Jazeera, koran The Washington Post, dan The Guardian menurunkan rangkaian liputan khusus dan opini menyoroti kasus pembunuhan 39 warga Afganistan yang diduga melibatkan lebih dari 20 anggota pasukan khusus SAS Australia.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: