Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kim Jong Il Dan Politik Independen Melawan Imperialisme

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/sarah-meiliana-gunawan-1'>SARAH MEILIANA GUNAWAN</a>
LAPORAN: SARAH MEILIANA GUNAWAN
  • Jumat, 11 Desember 2020, 10:43 WIB
Kim Jong Il Dan Politik Independen Melawan Imperialisme
Kim Jong Il/Net
rmol news logo Akhir abad ke-20 dianggap sebagai berakhirnya sosialisme di dunia, di mana banyak negara yang menganut ideologi itu perlahan memutar arah.

Tetapi pada saat yang sama, Kim Jong Il (16 Februari 1942 - 17 Desember 2011) menjadikan masa itu sebagai momentum untuk memperkuat gagasan Juche yang telah dibuat leh Kim Il Sung.

Alih-alih, Kim Jong Il mempublikasikan berbagai karyanya, seperti The Historical Lesson in Building Socialism and the General Line of Our Party (January 1992), Abuses of Socialism Are Intolerable (March 1993) and Socialism Is a Science (November 1994).

Dalam setiap karyanya, ia membuktikan secara ilmiah kemenangan sosialisme dalam perjuangan anti-imperialis. Dia menanamkan kekuatan dan keberanian di negara dan bangsa yang ingin merdeka.

Independensi Kim Jong Il jelas terlihat pada Januari 1968, ketika sebuah kapal mata-mata Amerika Serikat (AS), Pueblo, tertangkap di perairan teritorial Republik Rakyat Demokratik Korea (RRDK).

Pada saat itu, AS mengancam akan mengambil tindakan balasan dan tidak ragu berperang kecuali DPRK mengembalikan awak dan kapal yang ditangkap.

Tetapi Kim Jong Il menegaskan prinsipnya. Dia tidak akan melepaskan mereka kecuali AS mengirimkan surat permintaan maaf. Selain itu, karena kapal itu adalah barang rampasan, maka dia tidak akan mengembalikannya meski mendapatkan surat permintaan maaf.

Insiden serupa pun terjadi pada pesawat mata-mata AS, EC-121, pada April 1969 dan insiden Panmunjom pada Agustus 1976.

Sebagai seorang yang dikenal aktif membangun hubungan dengan negara lain, Kim Jong Il kerap bertemu dengan berbagai tokoh dunia, termasuk kepala negara dari Rusia, China, Vietnam, Laos, Kamboja, hingga Indonesia.

Bukan hanya itu, Kim Jong Il juga tidak sungkan untuk bertemu dengan tokoh-tokoh dari negara yang bermusuhan dengan DPRK, seperti mantan Presiden AS Bill Clinton, Menteri Luar Negeri AS Albright, hingga Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi.

"Setiap orang yang bertemu dengannya, terlepas dari kebangsaan, keyakinan agama, ide atau pandangan politik mereka, bersimpati dengan pandangannya yang berprinsip dan adil tentang kemerdekaan global," begitu keterangan tertulis yang diterima Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (11/12).

Terobosan lainnya yang dilakukan oleh Kim Jong Il adalah politik Songun, seiring dengan munculnya upaya AS membangun dunia unipolar.

Politik Songun diberlakukan oleh Kim Jong Il semata-mata untuk membela perdamaian dan keamanan di Semenanjung Korea, Asia timur laut, dan seluruh dunia.

Songun berarti mempertahankan kemerdekaan dan martabat bangsa serta perdamaian dunia dengan bantuan pertahanan diri, kekuatan militer yang tak terkalahkan di tengah kesewenang-wenangan imperialis.

Politik Songun meningkatkan keseluruhan kemampuan pertahanan DPRK, termasuk Tentara Rakyat Korea, ke tingkat kekuatan dunia, dan membuat terobosan dalam tatanan internasional kekuatan imperialis yang dipimpin AS, di mana hukum rimba berlaku.

"Jika DPRK lemah dalam hal kekuatan militer, semenanjung Korea tidak akan mampu menghindari bencana perang yang menimpa Irak dan Afghanistan," begitu pandangan politik Songun.

Seandainya DPRK tidak diubah menjadi negara dengan kemampuan militer yang besar, maka perang akan meletus dan menyebabkan empat bencana besar, yaitu kerugian ekonomi sebesar 20 triliun dolar AS, kehancuran lebih dari 500 kota besar, kematian lebih dari satu miliar orang, hingga desertifikasi global. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA