Sejak awal berada di Gedung Putih, Trump memilih banyak jalur yang berlawanan dengan para pendahulunya. Ia berani menjadikan AS lebih keras terhadap China, tapi di sisi lain juga mengkritik para sekutunya.
"Saya masih ingat pertemuan pertama dia dengan NATO, itu ya mengkritik mereka," kata pengamat hubungan internasional Teguh Santosa, merujuk pada Pakta Pertahanan Atlantik Utara.
Pernyataan itu Teguh sampaikan dalam diskusi virtual bertajuk "Prahara Cinta Segitiga Indonesia-China-Amerika" yang digelar
Kantor Berita RMOL Sumut pada Jumat (18/12).
Kontras dengan kebijakan-kebijakan AS sebelumnya, Teguh mengatakan, Trump juga mengambil sikap negatif terhadap beberapa lembaga multilateral. Salah satunya adalah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang sering dikritik di tengah pandemi Covid-19.
Salah satu yang disebut oleh Teguh juga bagaimana Trump menarik AS dari kesepakatan nuklir Iran yang telah ditandatangani pada era Barack Obama. Kesepakatan itu dilakukan antara Iran dengan lima negara anggota permanen Dewan Keamanan PBB ditambah Jerman.
"Nah ini menciptakan persoalan baru karena bagi negara-negara anggota Dewan Keamanan plus Iran, perjanjian itu... untuk mengkanalisasi isu nuklir Iran. Ketika kanalnya sudah tidak ada, jadi bisa kemana-mana, Eropa jadi merasa terancam, dia yang paling dekat dengan Iran," terang Teguh.
Menurut Teguh, berbagai kebijakan luar negeri yang diambil oleh Trump pada dasarnya kontradiktif dengan pandangan sang presiden itu sendiri.
Trump, lanjutnya, selama ini menganggap multipolarisme membuat AS kehilangan daya magisnya seperti ketika Perang Dingin atau beberapa tahun pasca Uni Soviet runtuh. Tetapi berbagai keputusan Trump membuat AS semakin terisolasi.
"Makanya saya pernah mengatakan, Donald Trump ini presiden terbaik bagi China karena upaya China untuk mendominasi dunia itu lebih mudah," tandasnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: