Sebanyak lebih dari 1.000 petugas polisi Hong Kong melaksanakan operasi penggerebekan besar-besaran di 72 tempat saat fajar.
Para aktivis yang ditangkap adalah mereka yang terkait dengan pemungutan suara terorganisir secara independen pada Juli 2019 untuk memilih kandidat oposisi dalam pemilihan legislatif.
AFP melaporkan, para aktivis ditahan atas tuduhan subversi di bawah UU keamanan nasional, dengan ancaman penjara hingga seumur hidup.
Insiden penangkapan tersebut disoroti oleh komunitas internasional, terutama negara-negara Barat yang menganggap Hong Kong telah kehilangan "otonomi"-nya.
Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab menyebut penahanan para aktivis sebagai serangan menyedihkan terhadap hak dan kebabasan Hong Kong.
"(Beijing) dengan sengaja menyesatkan dunia tentang tujuan sebenarnya (dari UU keamanan nasional). Itu digunakan untuk menghancurkan perbedaan pendapat dan menentang pandangan politik," tambah Raab.
Nada serupa juga disuarakan oleh Menteri Luar Negeri Kanada Francois-Philipe Champagne yang menyerukan agar para aktivis yang ditahan dapat segera dibebaskan.
Lebih lanjut, Champagne menyebut penangkapan itu sebagai represi berat terhadap pluralisme politik dan erosi prinsip "satu negara, dua sistem".
Desakan agar para aktivis segera dibebaskan juga digaungkan oleh Uni Eropa hingga Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Joe Biden.
Polisi tidak menyebutkan nama mereka yang ditangkap, tetapi identitas mereka diungkapkan oleh akun media sosial dan organisasi mereka. Mereka termasuk mantan anggota parlemen, aktivis, dan orang-orang yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu 2020, di antaranya James To, Lam Cheuk-ting, Benny Tai, dan Lester Shum.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: