Departemen Kehakiman mengatakan, biaya tersebut termasuk denda sebesar 243,6 juta dolar AS, pembayaran kompensasi kepada pelanggan sebesar 1,77 miliar dolar AS, dan kompensasi untuk keluarga korban sebesar 500 juta dolar AS.
Dua kecelakaan yang dimaksud adalah di Indonesia dan Ethiopia, yang merenggut total 346 nyawa.
Kecelakaan itu menyebabkan pesawat Boeing 737 MAX dilarang terbang selama 20 bulan sejak Maret 2019 dan baru diizinkan kembali pada November 2020, setelah Boeing melakukan peningkatan keamanan.
Menurut pengacara keluarga korban Boeing 737 MAX di Ehiopia pada Kamis (7/1), pihaknya akan melanjutkan proses hukum perdata meski sudah ada penyelesaiannya.
Dalam proses hukumnya, Boeing didakwa dengan satu tuduhan konspirasi untuk menipu pemerinta. Pabrikan pesawat terbesar AS itu menghadapi perjanjian penuntutan tiga tahun yang ditangguhkan, setelah itu dakwaan akan dibatalkan jika perusahaan mematuhi perjanjian tersebut.
"Kecelakaan tragis Lion Air Penerbangan 610 dan Ethiopian Airlines Penerbangan 302 mengungkap perilaku curang dan menipu oleh karyawan salah satu produsen pesawat komersial terkemuka dunia," kata Penjabat Asisten Jaksa Agung David P. Burns, seperti dikutip
New Daily.
"Karyawan Boeing memilih jalur keuntungan daripada keterusterangan dengan menyembunyikan informasi material dari FAA mengenai pengoperasian pesawat 737 MAX-nya dan terlibat dalam upaya untuk menutupi penipuan mereka," sambung Burns.
Dalam dokumen pengadilan, Boeing mengaku bahwa dua dari 737 MAX Flight Technical Pilot menipu Administrasi Penerbangan Federal (FAA) tentang sistem keamanan utama yang terkait dengan kedua kecelakaan fatal yang disebut MCAS.
Kepala Eksekutif Boeing David Calhoun mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa perjanjian itu dengan tepat mengakui bagaimana perusahaan gagal memenuhi nilai-nilai dan harapan.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: