Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Petugas Krematorium Jerman: Masih Banyak Yang Anggap Remeh Corona, Padahal Sudah Ratusan Peti Mati Di Sini

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Jumat, 22 Januari 2021, 16:34 WIB
Petugas Krematorium Jerman: Masih Banyak Yang  Anggap Remeh Corona, Padahal Sudah Ratusan Peti Mati Di Sini
Peti mati jenazah korban Covid-19/Net
rmol news logo Setahun sudah pandemi virus corona menghantam kehidupan orang-orang di hampir semua negara-negra di dunia. Pandemi telah menghancurkan ekonomi, merusak tatanan kehidupan, menewaskan lebih dari dua juta orang, dan mengoyak sistem kesehatan.  

Vaksinasi diharap menjadi harapan baru yang akan memperbaiki kehidupan semua orang. Namun, sementara vaksinasi belum berjalan sempurna, bahkan banyak negara miskin yang belum mendapatkan bagiannya, di pelosok negara-negara kisah muram terus memayungi mereka yang berjuang.

Orang-orang di seluruh dunia yang nyaris putus asa tetapi juga masih memiliki harapan, mencoba untuk bangkit membantu di garis depan.

Seperti kisah penjaga krematorium di Jerman. Dilaporkan AFP, dia yang setiap hari berhadapan dengan banyak peti mati berisi jenasah korban Covid, menyuarakan keprihatinannya kepada orang-orang yang masih menganggap remeh pandemi ini.

"Kami telah menumpuk banyak peti mati, dan memindahkan sekitar 750 jenazah," kata Joerg Schaldach, petugas krematorium di Meissen, sebuah kota di Jerman timur.

Dengan gemas ia berkata, "Para penyangkal corona, kalian bisa datang dan menyentuh semua ini untuk diri mereka sendiri. Kami bahkan menangani 400 jenazah dalam seminggu, yang harus dikremasi!" katanya.

Jerman telah mencatat lebih dari 50.000 kematian akibat virus corona sejak dimulainya pandemi, kata pusat kendali penyakit Robert Koch Institute, pada Jumat (22/1).

Kasus harian dalam 24 jam terakhir bertambah sebanyak 18,700 dan kasus kematian bertambah sebanyak 855.

Sementara di Brasil, seorang pemuda yang merawat ayahnya yang terserang virus harus bolak balik mencari persediaan oksigen. Namun, negara dengan kasus Covid-19 yang cukup tinggi itu tidak memiliki fasilitas penanganan pandemi yang mumpuni.

Selama dua hari pemuda itu, Roberto Freitas, 32 tahun, berusaha mencari oksigen untuk membantu pernasapan ayahnya, namun yang ia dapatkan adalah jawaban menyedihkan.

"Seorang karyawan di balai kota memberi tahu saya bahwa oksigen tidak akan sampai... dan saya dapat menyewa truk berpendingin untuk jenazah," katanya. "Kamu tidak tahu harus berpikir apa, hanya yang terburuk. Kamu hanya akan menangis," katanya sendu.

Di Tokyo, Yuichiro, 46 tahun, harus berjuang mencari nafkah di antara kerasnya kehidupan selama pandemi di negara itu. 

"Tidak ada pekerjaan. Sama sekali tidak ada," katanya, yang akhirnya menjadi pekerja konstruksi. Ia menggambarkan sulitnya hidup di masa pandemi dengan banyak orang yang kelaparan karena tidak mampu lagi membeli makanan setelah kehilangan pekerjaan atau ketika perusahaan hanya mampu membayar setengahnya.

"Ini tidak banyak diberitakan di media, tetapi banyak orang tidur di stasiun kereta dan di dalam kotak kardus. Beberapa sekarat karena kelaparan," ujarnya pilu.

Di Los Angeles, seorang perawat di Rumah Sakit Komunitas Martin Luther King Jr, salah satu distrik termiskin,  mengatakan para tenaga medis telah berusaha sekuat tenaga.

"Sulit. Kami manusia, dan kami berusaha sebaik mungkin," kata perawat itu, Vanessa Arias, yang selalu merasa sedih setiap kali ada pasien yang tidak tertolong.

"Kami telah melihat begitu banyak kematian selama beberapa minggu terakhir." rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA