Kelompok hak asasi manusia mengatakan, setidaknya 1.000 orang telah ditahan dalam aksi protes yang ditujukan untuk menentang kekerasan polisi, korupsi, hingga kemiskinan yang terjadi.
Polisi sendiri menyebut lebih dari 700 orang ditangkap pada bentrokan pekan lalu, di mana anak-anak muda melemparkan batu dan bom molotov ke arah pasukan keamanan yang membalas dengan tembakan gas air mata dan meriam air.
Di Tunis, para pengunjuk rasa meneriakkan slogan aksi protes saat Arab Spring 10 tahun lalu.
"Tidak ada lagi ketakutan, jalanan adalah milik rakyat!" seru mereka, seperti dikutip
Al Jazeera.
"Rakyat menginginkan jatuhnya rezim!" seru lainnya.
Sebagian besar kerusuhan terjadi di daerah-daerah terpinggirkan, di mana kemarahan mendidih karena melonjaknya pengangguran dan buruknya pemerintahan setelah revolusi 2011.
"Situasinya sangat dahsyat. Politisi korup, kami ingin mengubah pemerintah dan sistem," ujar seorang pekerja yang ikut dalam aksi protes, Omar Jawadi.
Di tengah aksi protes, pemerintah Tunisia memperpanjang pemberlakuan jam malam untuk membendung penyebaran virus corona yang sudah menelan lebih dari 6.000 orang di Tunisia.
Mulai Sabtu, jam malam diperpanjang dari pukul 8 malam menjadi 5 pagi. Pertemuan massal juga dilarang hingga 14 Februari.
Semua restoran dan bar tutup untuk makan di tempat. Beberapa sekolah dan univeristas masih dibuka, namun banyak di antaranya beralih ke kelas daring.
Polisi menempatkan barikade di sepanjang Jalan Habib Bourguiba di Tunis untuk menghentikan pertemuan para pengunjuk rasa.
Namun para pengunjuk rasa melakukan aksi protes di luar gedung bank sentral.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.