Guterres menyebut regulasi tersebut diperlukan setelah insiden perusahaan media sosial menutup akun milik mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Menurut Guterres, perusahaan tidak memiliki kekuatan untuk memutuskan apakah akun Trump dapat ditutup atau tidak.
Untuk itu, sebuah mekanisme atau kerangka regulasi harus dibuat sesuai dengan hukum.
"Saya tidak berpikir bahwa kita dapat hidup di dunia di mana terlalu banyak kekuasaan diberikan kepada sejumlah kecil perusahaan," ujar Guterres dalam konferensi pers pada Kamis (28/1), seperti dikutip
AP.
Lebih lanjut, Guterres mengungkap kekhawatirannya terkait kekuatan perusahaan media sosial. Ia juga menggarisbawahi bagaimana informasi bertebaran di media sosial dengan kurangnya kontrol.
"Fakta bahwa data dapat digunakan tidak hanya untuk tujuan komersial untuk dijual kepada perusahaan periklanan, tetapi juga untuk mengubah perilaku kita, dan risikonya akan digunakan juga dari sudut pandang politik untuk mengontrol warga negara di negara-negara," terangnya.
Guterres menekankan perlunya diskusi serius. Terlebih hal tersebut juga sesuai dengan "Roadmap for Digital Cooperation" untuk dunia digital yang lebih aman dan adil yang diluncurkan pada Juni lalu.
Dalam "Roadmap for Digital Cooperation" terdapat delapan hal yang diperlukan untuk mencapai konektivitas universal ke internet pada 2030.
"Masalah teknologi digital seringkali terlalu rendah dalam agenda politik," ucap Guterres.
Pada bulan ini, Twitter dan sejumlah media sosial secara massal memblokir akun Trump sebagai akibat dari insiden kerusuhan di Capitol Hill pada 6 Januari.
Trump yang selama 12 tahun terakhir menggunakan Twitter memiliki 89 juta pengikut dan kerap menggunakan platform tersebut sebagai jalur komunikasinya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: