Perjanjian damai yang ditengahi oleh Rusia itu menjadi semacam kemenangan tersendiri bagi Azebaijan serta memperkuat pengakuannya atas wilayah Nagorno-Karabakh.
Memang secara intenasional, Nagorno-Karabakh diakui sebagai bagian dari Azerbaijan. Namun wilayah tersebut telah dikendalikan oleh etnis Armenia sejak awal 1990-an, setelah runtuhnya Uni Soviet.
Sejak saat itu, ketegangan antara Armenia dan Azerbaijan kerap terjadi. Puncaknya terjadi pada pertengahan tahun lalu di mana terjadi pertempuran antara militer dari Armenia dan Azerbaijan di Nagorno-Karabakh.
Pertempuran itu berujung pada hilangnya sejumlah nyawa dari kedua belah pihak dan membawa Rusia berdiri di posisi mediator yang mendorong gencatan senjata serta perjanjian damai yang diteken dua pihak yang bertikai pada bulan November lalu.
Salah satu dampak dari perjanjian itu adalah terbelahnya sebuah desa yang bernama Taghavard. Desa ini diketahui membentang sejauh tiga kilometer di sepanjang jalan tidak beraspal menuju pegunungan di Nagorno-Karabakh. Sebelum pertempuran tahun lalu terjadi, desa ini memiliki populasi lebih dari seribu etnis Armenia.
Namun pertempuran dan gencatan senjata menyebabkan desa ini tidak lagi sama seperti sebelumnya. Desa ini menjadi salah satu titik panas alias medan pertempuran pasukan dari dua negara tersebut.
Pasca perjanjian damai, pasukan Azerbaijan mengusai ujung barat desa yang banyak pemukiman. Sedangkan warga lokal etnis Armenia yang tidak melarikan diri dari perang sekarang tinggal di bagian timur desa dan dilindungi oleh unit militer etnis Armenia.
Salah seorang warga setempat etnis Armenia bernama bernama Lenser Gabrielyan berbagi kisahnya dengan
Reuters baru-baru ini. Gabrielyan yang merupakan seorang petani mengaku bahwa akibat perang, dia dan keluarganya harus bergeser ke sisi timur desa dan meninggalkan rumah serta tanahnya.
Kini dia hanya bisa memandang dengan sedih ke arah tanahnya di desa Taghavard yang sekarang sudah terputus dari dia akibat perjanjian damai tersebut.
“Saya dulu bertani. Tapi hampir semua tanah dikuasai Azerbaijan. Tidak ada traktor tersisa di sini, semua peralatan ada di tangan pihak Azeri," ujar pria 65 tahun itu.
Kini dia dan banyak warga etnis Armenia lain, berjuang untuk kembali menata hidup. Pasalnya, ladang tempat ternak dulu merumput dan hutan terdekat, tempat mereka biasa memotong kayu bakar, berada di bawah kendali pasukan Azerbaijan.
Sebelum pertempuran tahun lalu terjadi, dia memelihara domba dan babi. Namun ternaknya hilang saat desa tersebut menjadi medan pertempuran dua pasukan negara yang bertetangga itu.
“Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Semuanya hancur," ujarnya.
Bukan hanya itu, sebelum konflik berkecamuk, warga desa juga menikmati air mengalir ke rumah mereka dari sumur yang terletak di bagian atas desa. Namun akses itu sekarang telah hilang.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: