Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Muncul Kelompok Gerakan Pembangkangan Sipil Pasca Pecahnya Kudeta Militer Myanmar

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Rabu, 03 Februari 2021, 14:59 WIB
Muncul Kelompok Gerakan Pembangkangan Sipil Pasca Pecahnya Kudeta Militer Myanmar
Ilustrasi/Net
rmol news logo Sikap pemerintah Amerika Serikat dan sejumlah negara Barat yang tidak mendukung kudeta militer di Myanmar, seolah memberi angin bagi para pembangkang sipil. Mereka juga tidak setuju dengan aksi pengambilalihan kekuasaan yang ditandai dengan penahanan pemimpin mereka Aung San Suu Kyi beberapa hari lalu.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Seruan untuk melakukan kampanye pembangkangan sipil di Myanmar meningkat pada Rabu (3/2) pagi waktu setempat, ketika Amerika Serikat secara resmi menyatakan pengambilalihan militer sebagai kudeta dan berjanji akan memberikan hukuman lebih lanjut bagi para jenderal di balik kudeta tersebut.

Dengan kembalinya tentara ke jalan-jalan, sejauh ini memang tidak ada protes besar yang terjadi pasca pengambilalihan kekuasaan tersebut. Namun tanda-tanda kemarahan publik dan rencana untuk melawan mulai muncul, terutama secara online.

Dentang panci dan wajan serta bunyi klakson mobil terdengar di seluruh kota terbesar di negara itu Yangon pada Selasa (2/2) malam, setelah muncul seruan untuk protes keluar di media sosial.

Aktivis pendukung pemerintahan sipil juga telah meluncurkan grup Facebook ‘Gerakan Pembangkangan Sipil’ untuk menyatakan oposisi dan berbagi ide. Pada Rabu pagi, sekitar 24 jam setelah peluncurannya, ia memiliki hampir 150.000 pengikut.

Para dokter dan perawat termasuk di antara para profesional yang membuat pernyataan awal tentang niat mereka untuk mogok.

“Kami hanya akan mengikuti dan mematuhi perintah dari pemerintah kami yang terpilih secara demokratis,” bunyi sebuah pernyataan dari petugas medis yang diposting di halaman Gerakan Pembangkangan Sipil pada Selasa malam, seperti dikutip dari AFP, Rabu (3/2).

Tapi, protes kepada rezim militer Myanmar bukan tanpa risiko.

Selama di bawah pemerintahan junta, ribuan aktivis yang berbeda pendapat dengan pemerintah - termasuk Suu Kyi - ditahan selama bertahun-tahun. Sensor tersebar luas dan militer sering mengerahkan kekuatan mematikan selama periode kekacauan politik, terutama selama protes besar pada 1988 dan 2007.

Pada Rabu pagi, surat kabar resmi Global New Light of Myanmar menerbitkan peringatan dari Kementerian Informasi agar tidak menentang kudeta.

"Beberapa organisasi media dan orang-orang memposting rumor di media sosial, mengeluarkan pernyataan untuk terjadi kerusuhan dan situasi tidak stabil," bunyi pernyataan berbahasa Inggris itu.

Departemen tersebut kemudian menyerukan kepada orang-orang agar tidak melakukan tindakan seperti itu dan meminta mereka untuk bekerja sama dengan pemerintah sesuai dengan hukum yang ada.

Myanmar jatuh kembali ke pemerintahan militer langsung, ketika tentara menahan Suu Kyi dan para pemimpin sipil lainnya dalam serangkaian serangan fajar pada hari Senin, mengakhiri percobaan singkat negara itu sebagai negara berlandaskan demokrasi.

Suu Kyi, yang tidak pernah terlihat di depan umum sejak kudeta, menang telak dengan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD)-nya November lalu, tetapi militer - yang partai-partai favoritnya kalah - menyatakan bahwa pemilihan itu telah berlansung curang.

Tindakan tentara tersebut telah disambut dengan paduan suara kecaman internasional yang semakin meningkat, meskipun kecil harapan jenderal Myanmar akan berbalik arah atas keputusannya mengambil alih tampuk kekuasaan. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA