Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pengungsi Afrika Tengah, Pergi Tanpa Bekal: Kami Hidup Seperti Binatang

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Kamis, 11 Februari 2021, 06:36 WIB
Pengungsi Afrika Tengah, Pergi Tanpa Bekal: Kami Hidup Seperti Binatang
Ilustrasi/Net
rmol news logo Perang dan konflik selalu menciptakan penderitaan bagi masyarakatnya. Begitulah pula yang dirasakan oleh ribuan keluarga yang terjebak pertempuran antara pasukan pro-pemerintah dan kelompok pemberontak di Republik Afrika Tengah. Saat ini mereka terlunta-lunta, harus rela meninggalkan rumah dan tinggal di pengungsian dengan kondisi yang mengkhawatirkan.

Situasi mengerikan di tengah kekhawatiran berkurangnya bantuan kemanusiaan itu, di ceritakan penduduk desa yang kini hidup dalam kondisi genting di halaman sekolah di pinggiran ibu kota, kepada jurnalis France24, Rabu (10/2).

Di bawah naungan pohon di halaman sekolah di pinggiran Bangui, ibu kota Republik Afrika Tengah , sekitar 2.500 pengungsi desa berkumpul dengan beberapa harta benda mereka yang tersisa, berupa ember plastik, beberapa tikar dan panci masak.

Tiga minggu lalu, para penduduk desa melarikan diri karena situasi keamanan yang semakin memburuk.

Kepala Desa Bondokpo, Eric Biro, mengungkapkan kemarahannya ketika desanya diserang.

“Kami hidup seperti binatang, karena kami pergi tanpa membawa barang bawaan, atau bahkan alas duduk.  Banyak yang mati di sana sekarang,” ia geram, menunjuk ke arah desanya yang ditinggalkan.

“Banyak korban ... di seluruh hutan," tambahnya, suaranya terdengar putus asa.

Pertempuran meletus lagi tahun lalu tepat saat Republik Afrika Tengah bersiap untuk menggelar pemilihan presiden pada 27 Desember, ketika enam kelompok bersenjata paling kuat di negara itu membentuk aliansi melawan pemerintah Presiden Faustin Archange Touadera.

Negara kaya emas dan berlian dengan hampir 5 juta orang itu, telah gagal menemukan stabilitas sejak pemberontakan 2013 menggulingkan mantan presiden Francois Bozize.

Meskipun Touadera memenangkan putaran pertama pemilihan, oposisi politik negara itu menganggap kemenangan itu palsu.

Sementara itu, pemberontak berusaha memotong ibu kota dari bagian lain negara itu, menyerang desa-desa di sepanjang rute.

Untuk Biro dan sesama penduduk desa dari daerah tersebut, situasinya mengerikan. Selama tiga minggu terakhir mereka terpaksa mengandalkan pengiriman bantuan yang sedikit dari beberapa organisasi kemanusiaan yang beroperasi di negara itu.

Tapi jatah mereka selama sebulan hampir tidak cukup untuk bertahan hidup.

"Tidak banyak. Saya punya lima anak," jelas Mbaz Mapoumka, penduduk lainnya yang juga menjadi mengungsi.

"Tapi hanya dengan itu, apa yang bisa kita lakukan? Dalam seminggu, itu akan berakhir, dan kita akan makan apa?" ujarnya.

Sementara ketakutan melanda, kelompok bantuan memperingatkan kekurangan akibat penyumbatan jalan yang disebabkan oleh konflik. Situasi semakin buruk karena harga makanan di negara ini sudah tiga kali lipat.

"Stok makanan dan kemanusiaan semakin menipis dari hari ke hari. Kami punya cukup untuk bertahan beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan, tetapi jika situasinya tidak membaik dengan sangat cepat, itu akan menjadi sangat kritis bagi penduduk," jelas Tom Peyre-Costa , juru bicara regional Dewan Pengungsi Norwegia (NRC)

Di seluruh Republik Afrika Tengah, lebih dari 240.000 orang telah dipaksa meninggalkan rumah mereka sejak pemberontak melancarkan serangan pada pertengahan Desember dan sekitar 2 juta orang di negara itu diyakini telah mengalami rawan pangan. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA