Keputusan pemerintah Malaysia diambil setelah pihak militer Myanmar, yang merebut kekuasaan dalam kudeta 1 Februari lalu, menawarkan diri untuk mengirim tiga kapal angkatan laut untuk menjemput warga yang ditahan di pusat penahanan imigrasi Malaysia, kata para pejabat dan sumber terkait kepada
Reuters minggu ini.
"Prinsip non-refoulement berlaku juga di Malaysia sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional yang mengikat semua negara bagian," kata Yante Ismail, juru bicara United Nations High Komisaris untuk Pengungsi di Kuala Lumpur, lewat email yang dikirmkan ke
Reuters.
Pada Kamis (11/2), Direktur Jenderal Imigrasi Malaysia, Khairul Dzaimee Daud, membenarkan bahwa 1.200 warga Myanmar akan dikirim kembali tetapi tidak mengatakan apakah ada di antara mereka adalah pengungsi.
Malaysia tidak secara resmi mengakui orang yang datang tanpa dokumen resmi sebagai pengungsi, melainkan menganggap mereka sebagai migran ilegal.
Malaysia sendiri selama ini menjadi rumah bagi lebih dari 154.000 pencari suaka dari Myanmar.
Di masa lalu, orang-orang dari Myanmar yang ditahan di Malaysia termasuk anggota etnis Chin, Kachin dan komunitas Muslim Rohingya yang melarikan diri dari konflik dan penganiayaan.
Kelompok hak asasi manusia telah menyatakan keprihatinan atas keselamatan pengungsi Myanmar setelah kudeta militer.
UNHCR mengatakan pihak berwenang Malaysia belum memberitahukannya tentang deportasi tersebut tetapi khawatir bahwa "sejumlah" dari mereka yang ditahan mungkin memerlukan perlindungan internasional, termasuk wanita dan anak-anak yang rentan.
UNHCR belum diizinkan masuk ke pusat-pusat penahanan Malaysia sejak Agustus 2019, mencegahnya untuk dapat mengidentifikasi pengungsi dan tidak memberikan jalan keluar bagi para pencari suaka.
Malaysia telah memperkuat pendiriannya tentang imigrasi selama pandemi Covid-19, dan menangkap ribuan migran yang tidak memiliki dokumen resmi.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.