Begitu hasil analisis yang diungkap oleh dosen hubungan internasional dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Rahmi Fitriyanti dalam
RMOL World View bertajuk "Ketar-Ketir Kudeta Militer Di Myanmar" pada Senin (15/2).
Menurut Rahmi, tudingan kecurangan pemilu yang dilakukan oleh partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) oleh militer hanya "legalitas" untuk melakukan kudeta.
Berdasarkan hasil pemilu pada 8 November 2020, NLD yang digawangi Aung San Suu Kyi berhasil menang telak dengan 85 persen suara, mengalahkan oposisi.
Setelah pemilu, militer menuding NLD melakukan kecurangan pemilu dengan mengklaim 8,6 juta orang memberikan suara ganda.
Namun terlepas hasil pemilu, Rahmi menyebut, militer pada dasarnya sudah mendesain kudeta secara matang.
"Saya melihat kudeta militer ini sudah direncanakan. Artinya, bagaimana pun hasil pemilu, kalah atau menang NLD, militer akan tetap melakukan kudeta," jelasnya.
Hal tersebut menurut Rahmi dapat dilihat dari pemberlakuan keadaan darurat oleh militer selama satu tahun. Di mana militer sudah memperhitungkan dengan cermat.
"Militer akan memanfaatkan ketidakpastian pandemi dengan memberangus media sosial, dan gerakan-gerakan demokrasi," lanjutnya.
Selain itu, militer juga seakan mencari alasan yang "mengada-ada" dengan mendakwa Aung San Suu Kyi dengan impor ilegal atas penemuan enam buah walkie-talkie.
Kudeta sendiri, lanjut Rahmi, dilakukan oleh militer karena berhubungan dengan sektor ekonomi.
Selama 49 tahun, militer telah berkuasa di Myanmar. Setelah itu selama 10 tahun Myanmar melakukan transisi semi-demokrasi. Jika akhirnya sipil berkuasa secara penuh, maka kegiatan ekonomi akan lebih transparan dan akhirnya menghambat "lahan" yang telah dikuasai oleh militer.
"Saya melihat militer mungkin bukan tidak puas bukan hasil pemilunya, tapi dari aset-aset yang tidak bisa dikuasai secara penuh," kata Rahmi.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.