Semasa hidup, Mya Thwate Thwate Khaing bekerja di toko kelontong di Napyidaw, ibu kota Myanmar. Pemuda itu tewas beberapa hari setelah peluru mengenai kepalanya saat konfrontasi dengan polisi, yang mengubahnya menjadi simbol perlawanan nasional.
Kabar meninggalnya Mya Thwate Thwate Khaing dikonfirmasi langsunh pihak rumah sakit yang merawatnya. Mereka memastikan bahwa dia meninggal tidak lama sebelum tengah hari pada hari Jumat (19/2), 10 hari setelah dia ditembak.
"Kami patah hati dan tidak bisa banyak membicarakannya sekarang," kata saudara laki-lakinya kepada
AFP, seraya menambahkan bahwa upacara pemakaman akan diadakan pada Minggu (21/2).
Insiden berawal ketika dia bergabung dalam unjuk rasa besar-besaran di Naypyidaw untuk menuntut pembebasan dan kembalinya pemimpin sipil yang digulingkan di negara itu, Aung San Suu Kyi.
Saat itu, aparat kepolisian membubarkan protes dengan peluru karet, tetapi Mya Thwate Thwate Khaing adalah satu dari dua orang yang terluka parah akibat peluru tajam.
Keluarganya sempat menandai ulang tahunnya yang ke-20 dua hari kemudian ketika dia terbaring tak sadarkan diri di ranjang perawatan intensif di rumah sakit.
Mya Thwate Thwate Khaing adalah kematian pertama yang dikonfirmasi dari gerakan anti-kudeta sejak militer merebut kekuasaan pada 1 Februari.
Kecaman atas kematian Mya Thwate Thwate Khaing tak hanya datang dari dalam negeri, tapi juga dunia internasional.
Salah satunya datang dari Pelapor Khusus PBB Tom Andrews.
"Mereka bisa menembak seorang wanita muda tetapi mereka tidak bisa mencuri harapan & ketetapan hati orang-orang yang bertekad," cuitnya di Twitter.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.