Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Referendum Sawit Di Swiss, Diaspora Indonesia Sempat Galau

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/yelas-kaparino-1'>YELAS KAPARINO</a>
LAPORAN: YELAS KAPARINO
  • Rabu, 10 Maret 2021, 16:06 WIB
Referendum Sawit Di Swiss, Diaspora Indonesia Sempat Galau
Ilustrasi./Net
rmol news logo Hasil referendum mengenai perjanjian IE-CEPA yang digelar di Swiss pada Minggu (7/3) lalu, melegakan pemerintah Indonesia. Mayoritas rakyat Swiss (51,6%) mendukung implementasi perjanjian IE-CEPA yang telah ditandatangani pada Desember 2018.

Perjanjian tersebut adalah paket kemitraan ekonomi komprehensif antara Indonesia dan negara-negara EFTA (European Free Trade Association: Swiss, Norwegia, Islandia dan Liechtenstein).

Ketika Norwegia dan Islandia telah menyelesaikan proses ratifikasi atas perjanjian itu, Swiss menghadapi penolakan dari kalangan LSM lingkungan karena isu komoditas kelapa sawit yang dituduh merusak lingkungan. Walhasil, sesuai hukum Swiss, ratifikasi perjanjian tersebut harus melalui persetujuan rakyat dalam sebuah referendum.

Seorang diaspora Indonesia yang kini menjadi warga Swiss, Dewi Pratiwi, mengungkapkan, pandangan masyarakat Swiss dan juga diaspora Indonesia di sana mengenai isu sawit terbelah tajam. Sebagian pro dan sebagian kontra, dengan jarak yang tipis. Hal tersebut tercermin dari hasil akhir referendum dimana aspirasi pro perjanjian, yang juga dapat ditafsirkan sebagai pro sawit, hanya unggul tipis atas aspirasi kontra perjanjian atau kontra sawit.

“Aku akhirnya vote setuju dengan free trade agreement, walaupun galau dulu selama dua minggu,” kata perempuan yang menikah dengan pria setempat itu kepada Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (10/3).

Menurut informasi yang didapatkan Dewi, Swiss sebetulnya hanya mengimpor dua kontainer sawit per tahun. Sebab, Swiss hanyalah negara yang kecil yang tak perlu banyak impor sawit. Tapi, isu yang berkembang di publik sangat liar.

Narasi pihak yang kontra dengan perjanjian dagang itu menyatakan, walaupun volume impor sawit Swiss per tahun sangat kecil, tetap saja sawit itu dipanen dari perkebunan yang menyebabkan kerusakan hutan dan hilangnya habitat satwa liar. Isu itulah yang membuat publik galau.

Kini, referendum telah usai. Meskipun pemungutan suara dimenangkan aspirasi pro free trade agreement, pemerintah Swiss tampaknya tetap mengakomodasi sebagian aspirasi kelompok pro lingkungan. Salah satunya, meminta pemerintah Indonesia agar menerapkan regulasi yang ketat terkait perlindungan alam.

"Sawit yang diimpor Swiss dari Indonesia pun harus bersertifikat tertentu sesuai dengan yang ditetapkan oleh otoritas di sini," tandas Dewi. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA