Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Nanas Idola Baru Taiwan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Kamis, 11 Maret 2021, 16:26 WIB
Nanas Idola Baru Taiwan
Nanas tumbuh di sebuah ladang di Kaohsiung, Taiwan 27 Februari 2021/Net
rmol news logo Pasca pelarangan impor nanas Taiwan awal Maret lalu oleh pemerintah China, buah dengan ciri khas kulit runcing tersebut kini menjadi simbol baru ketegangan politik kedua negara.

Bukannya meredup, pelarangan impor oleh China justru semakin membuat buah berwarna kuning itu semakin diminati, terutama di dalam negeri. Alasannya, untuk mendukung para petani lokal yang membudidayakan nanas.

Salah satunya, koki asal Taipei Hung Ching Lung. Dia memanfaatkan momen tersebut untuk berinovasi membuat resep makanan baru, sup mie daging sapi nanas di restorannya yang terkenal, Chef Hung.

Hung mengatakan dia dan timnya menghabiskan tiga hari menguji cara memasukkan nanas ke dalam makanan tersebut. Butuh sekitar 10 kali percobaan, katanya.

"Pertama kali kami mengujinya saat dimasak dalam sup, rasanya sangat manis, tidak bisa dimakan dan rasanya benar-benar seperti nanas," ujar Hung, seperti dikutip dari CNA, Kamis (11/3).

Upaya yang berhasil ini didasarkan pada pemisahan jus dari buah selama proses memasak, yang menghilangkan rasa manis yang akan mengalahkan rasa daging sapi.

Populernya nanas Taiwan tak lepas dari kampanye yang digaungkan oleh pemimpin mereka, Tsai Ing-wen. Lewat media sosial, Tsai menggemakan tantangan 'Makan nanas Taiwan sampai Meledak', menyerukan orang-orang untuk mendukung petani di pulau itu.

Pasca kampanye tersebut, politisi dari Partai Progresif Demokratik yang berkuasa dan Partai Nasionalis oposisi berbondong-bondong ke pertanian untuk memposting gambar dengan nanas.

China sendiri menyangkal langkahnya untuk melarang nanas Taiwan bermotif politik, dengan juru bicara Kantor Urusan Taiwan Beijing mengatakan bahwa keputusan itu adalah "tindakan keamanan hayati normal, dan sepenuhnya masuk akal dan perlu".

Sementara Kementerian Luar Negeri Taiwan menyebut langkah itu melanggar perdagangan yang berbasis aturan, bebas dan adil.

Meskipun ada keriuhan, larangan nanas mungkin tidak berdampak drastis pada petani Taiwan.

Sehari setelah larangan diberlakukan, Perdana Menteri Taiwan Su Tseng-chang mengatakan kepada media lokal bahwa jumlah yang dibeli oleh bisnis domestik dan warga melebihi jumlah yang seharusnya dijual ke China.

Pemerintah juga menjanjikan subsidi senilai 1 miliar dolar Taiwan (setara 35 juta dolar AS) untuk membantu para petani.

Pemerintah juga mengatakan telah menerima pesanan dari Jepang, Australia, Singapura, Vietnam, dan negara-negara Timur Tengah.

Setiap tahun, Taiwan memproduksi sekitar 420.000 ton nanas, 90 persen di antaranya dijual di pulau itu sendiri, menurut Dewan Pertanian. Sekitar 10 persen dari produksi tahunan itu dijual ke luar negeri, dan China merupakan mayoritas dari pembelian tersebut.

Tidak jelas apakah lonjakan pesanan dalam negeri baru-baru ini dan pesanan dari negara asing akan menebus larangan China dalam jangka panjang. Namun dalam jangka pendek, hal tersebut telah menarik perasaan patriotik dari sebagian warga sekitar.

"Kami semua berusaha menemukan cara untuk membantu para petani," kata Alice Tsai, yang mampir di restoran Hung pada Rabu (10 Maret) untuk mencoba mie yang menurutnya sangat enak.

"Suatu hari saya pergi ke supermarket dan menemukan bahwa semua nanas terjual habis, dan saya merasa sangat tersentuh. Setiap orang memiliki perasaan solidaritas ini," ujarnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA