Tokoh intelijen terkenal dan mantan kepala dinas intelijen militer Israel (IDF), Amos Yadlin, mengatakan keprihatinannya dengan dokumen Rencana Kerja Sama Komprehensif Iran-China tersebut. Menurutnya, itu akan membuat China bisa lebih agresif dengan Biden.
Rincian mengenai perjanjian memang tidak dipublikasikan, tetapi ada laporan bahwa kedua negara akan saling bertukar informasi.
Klausul yang dilaporkan dalam kesepakatan besar kerja sama strategis 25 tahun yang ditandatangani oleh Iran dan China pada Sabtu ahir ekan lalu, mencakup komitmen untuk kerja sama militer, termasuk di dalamnya pelatihan bersama, penelitian, dan berbegai informasi intelijen.
"Salah satu klausul yang paling mengkhawatirkan dalam perjanjian antara Iran dan China adalah pembagian intelijen," katanya, seperti dikutip dari
Time of Israel, Selasa (30/3).
Dengan klausul itu, yang dilaporkan dalam rancangan tahun lalu, China menempatkan dirinya di tempat yang, hingga hari ini, belum pernah terjadi sebelumnya.
Secara fundamental, China menentang bom nuklir Iran, tetapi di sisi lain tidak membantu menghentikan Iran, menurut Yadlin. "Iran, juga, membutuhkan dukungan politik yang dimiliki China untuk menghentikan Amerika Serikat yang telah menekannya."
China memahami bahwa pemerintahan Biden bukanlah pemerintahan Trump, dan mereka bisa jauh lebih agresif.
Komentar Yadlin muncul setelah China dan Iran menandatangani Kemitraan Strategis Komprehensif pada hari Sabtu, perjanjian strategis selama 25 tahun antara kedua negara untuk mengatasi masalah ekonomi di Iran di tengah sanksi AS yang melumpuhkan.
China adalah mitra dagang utama Iran dan merupakan salah satu pembeli terbesar minyak Iran sebelum Presiden AS Donald Trump menerapkan kembali sanksi sepihak pada tahun 2018 setelah meninggalkan perjanjian nuklir multilateral dengan Teheran.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: