Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Dibelit Krisis Finansial, Warga Irak Sambut Ramadhan Dengan Rasa Takut

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Selasa, 13 April 2021, 11:14 WIB
Dibelit Krisis Finansial, Warga Irak Sambut Ramadhan Dengan Rasa Takut
Sebuah pasar di Kota Baghdad/Net
rmol news logo Di balik rasa bahagia milyaran umat Muslim di dunia dalam menyambut Ramadhan, terselip rasa takut di benak warga Irak yang harus melaksanakan ibadah puasa di tengah kenaikan harga yang tajam, penurunan daya beli dinar, dan meningkatnya pengangguran.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Seorang ibu tunggal dengan lima anak bernama Umm Hussein mengungkapkan kecemasannya karena tidak lagi berpenghasilan, sementara ia harus mengumpulkan uang sewa senilai 45 dolar AS untuk rumah sederhana mereka.

"Setelah seharian berpuasa, kami harus makan sesuatu, bahkan jika harga satu kilo tomat naik lebih dari dua kali lipat," katanya, seperti dikutip dari AFP, Selasa (13/4).

Seperti 16 juta dari 40 juta penduduk Irak yang hidup di bawah garis kemiskinan, Umm Hussein mengandalkan kartu jatahnya untuk mendapatkan makanan.

Di bawah warisan dari tahun 1990-an ketika rezim Saddam Hussein Irak berada di bawah embargo internasional yang ketat, setiap warga Irak yang kepala keluarganya berpenghasilan kurang dari 1.000 dolar per bulan berhak atas ketentuan dasar tertentu dengan harga bersubsidi.

"Tapi tahun ini, kami baru menerima jatah untuk Februari," kata Abu Seif (36) yang memiliki tugas mendistribusikan paket barang bersubsidi.

"Kami masih belum mendapatkan jatah untuk Ramadhan," katanya.

Perdana Menteri Mustafa al-Kadhemi telah menjanjikan jatah tambahan untuk bulan suci tersebut. Tapi orang datang atau menelepon setiap hari untuk menanyakan kapan mereka tiba, kata Abu Seif.

Di toko kelontong Abu Ammar, penduduk lain Irak, batas kredit telah diperpanjang sehingga dia khawatir tidak dapat membayar pemasoknya lagi.

"Dengan harga yang naik tajam, beberapa keluarga berhutang lebih dari 200.000 dinar (130 dolar AS)," kata penjual itu kepada AFP.

Otoritas di Irak yang kaya energi, dengan pendapatan terpangkas oleh penurunan harga minyak dunia, tahun lalu mendevaluasi dinar, yang telah kehilangan 25 persen nilainya terhadap dolar. Alhasil, misalnya, harga sebotol minyak goreng naik menjadi 2.500 dinar dari sebelumnya 1.500 dinar.

Selain kenaikan harga, pembatasan Covid-19 seperti lockdown dan jam malam telah membunuh pekerjaan, terutama pekerjaan harian yang diandalkan banyak orang Irak setelah konflik selama beberapa dekade.

Organisasi Pangan dan Pertanian PBB bahkan mengatakan orang Irak terjebak dalam lingkaran setan.

"Lebih dari 90 persen usaha kecil dan menengah di sektor pangan dan pertanian dilaporkan terkena dampak pandemi yang parah hingga sedang. Untuk mengatasi penurunan pendapatan, lebih dari 50 persen membiarkan staf pergi atau mengurangi gaji," katanya.


Haider, seorang pegawai negeri berusia 32 tahun, mengatakan Ramadhan kali ini benar-benar membuatnya ketakutan.

"Ramadhan membuatku takut. Kami membutuhkan banyak barang untuk rumah dan pakaian baru untuk anak-anak," katanya.

Bahkan di saat-saat normal, ia berjuang keras untuk membayar sewa, biaya harian dan biaya listrik dengan gaji bulanan 600 dolar.

Listrik adalah salah satu beban keuangan terberat, di negara dengan pemadaman listrik 20 jam sehari yang memaksa warga Irak untuk beralih ke generator pribadi yang menggunakan bahan bakar mahal.

Abu Ahmad, seorang kolega berusia 32 tahun, mengatakan dia akan melewatkan tradisi Ramadhan tahun ini.

“Saya tidak akan memberikan makan malam yang besar di tempat saya, agar tidak menyebarkan Covid,” ucapnya.

"Selain itu, karena aku tidak mampu membelinya." rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA