Selamat Idul Fitri
Selamat Idul Fitri Mobile
Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pilihan Terbaik Untuk Korea Utara Dan Korea Selatan Adalah Status Quo

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/sarah-meiliana-gunawan-1'>SARAH MEILIANA GUNAWAN</a>
LAPORAN: SARAH MEILIANA GUNAWAN
  • Rabu, 14 April 2021, 15:57 WIB
Pilihan Terbaik Untuk Korea Utara Dan Korea Selatan Adalah Status Quo
Pemerhati hubungan internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Teguh Santosa/Repro
rmol news logo Ketegangan di Semenanjung Korea menjadi salah satu perhatian dunia. Selain melibatkan Korea Utara dan Korea Selatan, ketegangan di antara kedua Korea juga turut menjadi bagian dari kepentingan Amerika Serikat (AS), Republik Rakyat China (RRC), Rusia, dan Jepang.

Di tengah rumitnya hubungan bilateral dan politik domestik Korea Utara dan Korea Selatan, pertarungan pengaruh kekuatan eksternal menjadi masalah besar di kawasan.

Melihat situasi ini, pemerhati hubungan internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Teguh Santosa, mengatakan, pilihan terbaik untuk Semenanjung Korea saat ini adalah status quo.

"Saya merasa, lebih baik status quo. Itu pilihan terbaik bagi Korea Utara, bagi Korea Selatan, bagi China, dan Amerika Serikat," ujarnya dalam diskusi virtual RMOL World View pada Rabu (14/4).

"Misalnya ada upaya untuk meng-Amerika-kan Korea Utara, China pasti keberatan. Demikian juga bila ada upaya untuk men-China-kan Korea Utara, Amerika Serikat akan keberatan," jelas Teguh yang mendapatkan privilege untuk berkunjung berkali-kali baik ke Korea Utara maupun ke Korea Selatan.

Hubungan Korea Utara dan Korea Selatan

Menurut Teguh, Korea Utara dan Korea Selatan memiliki hubungan yang khas. Perubahan rezim di Korea Selatan dan Amerika Serikat, menurutnya, sangat mempengaruhi interaksi kedua Korea.

Bila partai konservatif yang berkuasa di Korea Selatan, hubungan Korea Selatan dengan Korea Utara akan memburuk. Sebaliknya, bila kelompok progresif yang berkuasa maka hubungan dua Korea relatif lebih baik.

Hal ini dapat terlihat dari era Presiden Kim Daejung, Roh Moo Hyun, dan Moon Jaein saat ini.

Korea Selatan akan menghadapi pemilihan umum tahun depan. Dapat dipastikan, Moon Jaein akan digantikan oleh presiden baru.

"Konstitusi Korea Selatan tidak membolehkan seorang presiden memimpin lebih dari satu periode. Maka akan ada presiden baru di Korea Selatan," jelas mahasiswa program doktoral hubungan internasional Universitas Padjadjaran (Unpad) ini.

Saat ini, Teguh mengatakan, kubu konservatif dan kubu progresif di Korea Selatan belum memiliki kandidat untuk duduk di Blue House. Kubu konservatif sedang terbelah, sementara kubu progresif juga belum menemukan tokoh yang kuat untuk menggantikan Moon Jaein.

"Saat ini ada mantan jaksa agung yang tampil sebagai tokoh oposisi. Tapi dia tidak berasal dari kubu konservatif maupun progresif. Jadi kita belum tahu partai apa yang akan berkuasa setelah pemilihan tahun depan," lanjutnya.

Kekuatan Eksternal

Di sisi lain, menurut Teguh yang mendapatkan dua bintang kehormatan dari Korea Utara, negeri Kim Jong Un kerap memandang ketegangan di Semenanjung Korea tidak terlepas dari pengaruh dan permainan AS.

Di era Presiden Donald Trump yang lalu, Paman Sam mengambil terobosan besar untuk melakukan serangkaian pembicaraan Korea Utara. Hal ini sebetulnya juga pernah dilakukan AS di era Presiden Bill Clinton tidak lama setelah Perang Dingin berakhir yang ditandai dengan kehancuran Uni Soviet. 

Sementara di era Joe Biden saat ini, Teguh memperkirakan, AS akan mengambil langkah berbeda dibandingkan sebelumnya, yang akan lebih keras terhadap Korea Utara.

Sebagai respon atas angin baru yang bertiup dari AS ini, Pyongyang diperkirakan akan kembali memperlihatkan kekuatan militer mereka.

Namun di luar urusan pergantian regim di AS, Teguh mengatakan lagi, secara umum Korea Utara sesungguhnya tidak puas dengan serangkaian pembicaraan damai yang dilakukan pada kurun 2018 dan 2019. Korea Utara merasa, AS dan Korea Selatan tidak sungguh-sungguh ingin menciptakan perdamaian di Semenanjung Korea.

Sejak pertemuan pertama Kim Jong Un dan Moon Jaein di bulan April 2018, Korea Utara telah melakukan sejumlah hal yang diperlukan untuk menciptakan perdamaian dan membangun saling percaya. Lalu setelah pertemuan Kim dan Trump di Singapura bulan Februari 2019, Korea Utara juga telah menghancurkan fasilitas nuklir seperti yang diminta.

Namun sejauh ini, AS dan Korea Selatan tidak memperlihatkan tanda-tanda keduanya ingin bergerak ke titik tengah.

"Jadi, Korea Utara kini hendak memperlihatkan pada dunia internasional bahwa mereka bukan sitting duck dan juga bukan lame duck," pungkasnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA