Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Di Balik Rencana AS Kembali Ke Kesepakatan Nuklir Iran, Ada Israel Yang Gelisah

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/amelia-fitriani-1'>AMELIA FITRIANI</a>
LAPORAN: AMELIA FITRIANI
  • Senin, 19 April 2021, 14:58 WIB
Di Balik Rencana AS Kembali Ke Kesepakatan Nuklir Iran, Ada Israel Yang Gelisah
Pengamat politik Islam dan Timur Tengah Dr. Muhammad Najib dalam program webinar mingguan RMOL World View/RMOL
rmol news logo Langkah Presiden Amerika Serikat Joe Biden untuk berusaha membawa kembali negeri Paman Sam ke dalam kesepakatan nuklir Iran 2015 atau disebut secara resmi sebagai Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (Joint Comprehensive Plan of Action/JCPOA), membuat Israel gelisah.

Betapa tidak, bagi Israel, kesepakatan tersebut tidak ubahnya seperti ancaman bagi keamanannya di kawasan Timur Tengah.

"Sebetulnya, jika bicara soal JCPOA, kita harus ingat kembali bahwa kesepakatan ini ditandatangani oleh lima negara plus satu (P5+1) dimulai ketika Barack Obama menjadi Presiden Amerika Serikat," jelas pengamat politik Islam dan Timur Tengah Dr. Muhammad Najib dalam program webinar mingguan RMOL World View bertajuk "Antara Amerika Serikat, Iran dan Israel" yang diselenggarakan pada Senin (19/4).

Dia menjelaskan, kesepakatan itu dibuat karena Amerika Serikat melihat bahwa Iran memiliki potensi untuk membuat senjata nuklir. Oleh karena itu, untuk menghalangi Iran membuat senjata nuklir, maka harus dilakukan negosiasi.

"Kalau disederhanakan, maka hasil kesepakatan tersebut (yang tertuang dalam JCPOA), Iran boleh kembangkan teknologi nuklir untuk perdamaian, misallnya dalam bidang kesehatan, peternakan, pertanian dan sebagainya. Tapi untuk membuat senjata nuklir, Iran dilarang," kata Najib.

Iran pun menyepakati perjanjian tersebut. Maka dari itu, sambung Najib, pengayaan nuklir Iran yang diizinkan tidak boleh melebihi 20 persen. Karena jika lebih dari 20 persen, maka ada kemungkinan untuk dijadikan senjata.

Untuk melancarkan kesepakatan tersebut, Iran bahkan menandatangani kesepakatan dengan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA).Pihak IAEA melakukan pengawasan 24 jam dengan memasang CCTV di berbagai posisi di reaktor nuklir Iran untuk memastikan bahwa Iran memenuhi kesepakatan tersebut.

Sayangnya, ketika Obama digantikan oleh Donald Trump di kursi nomor satu Amerika Serikat, muncul suasana baru.

"Pertama, aspek politik internal.ada perasaan di pihak Trump yang dipilih Partai Republik untuk mengabaikan, menyingkrikan atau menganggap kesepakatan era Obama yang berasal dari Partai Demokrat itu sebagai kesepakatan yang tidak bagus, sehingga harus dibatalkan," jelas Najib.

"Kedua, kalau dilihat dari aspek politik global, terutama Timur Tengah, Amerika Serikat ada tekanan dari Israel," sambungnya.

Dia mengelaborasi lebih jauh bahwa bagi Israel, dalam kesepakatan tersebut, meski Iran tidak diperkenankan untuk membuat senjata nuklir, namun Iran tetap bisa membuat dua senjata yang membuat mereka waswas.

"Iran tetap bisa membuat rudal balistik yang konon katanya bisa menjangkau Tel Aviv dan juga drone Iran yang banyak dipakai Hizbullah dan belakangan juga dipakai oleh Houthi," paparnya.

Namun kini kekuasaan puncak di Amerika Serikat kembali dipegang oleh Demokrat dengan Joe Biden sebagai pengganti Trump. Demokrat memiliki kepentingan untuk merehabilitasi JCPOA.

"Tapi persoalannya sekarang, Israel sang anak emas Amerika Serikat ini tetap tidak ingin Amerika Serikat kembali. Karena jika Amerika Serikat kembali ke JCPOA, maka ini akan menjadi kekalahan bukan hanya untuk Amerika Serikat, tapi juga bagi Israel," tandasnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA