Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Peringati Genosida 1915, Diaspora Armenia Di Prancis Samakan Erdogan Dengan Hitler

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Senin, 26 April 2021, 06:57 WIB
Peringati Genosida 1915, Diaspora Armenia Di Prancis Samakan Erdogan Dengan Hitler
Diaspora Armenia Prancis turun ke jalan, Sabtu 24 April 2021, menandai peringatan 106 tahun 'Genosida Armenia'/Net
rmol news logo Diaspora Armenia Prancis menandai peringatan 106 tahun 'Genosida Armenia' dengan melakukan aksi turun ke jalan pada akhir pekan kemarin.

Mereka berkumpul di dekat patung komposer Armenia, Komitas, sambil berteriak, "Genosida berlanjut", saat mereka tengah bersiap untuk berbaris di sepanjang Sungai Seine menuju kedutaan Turki.
Prancis, pada 2001, telah secara resmi mengakui pembantaian yang terjadi pada 24 April 1915 sebagai genosida. Pada Februari 2019, Presiden Prancis Emmanuel Macron menyatakan bahwa tanggal tersebut, hari dimulainya pembunuhan orang-orang Armenia, akan menjadi 'hari peringatan nasional'.  

"Erdogan, Pembunuh!" teriak mereka di tengah kemarahan atas penolakan keras presiden Turki untuk mengakui genosida Kekaisaran Ottoman terhadap orang-orang Armenia, seperti dilaporkan AFP, Minggu (25/4).

Tiga generasi keluarga, orang tua muda dengan kereta dorong bayi dan gadis remaja yang dibalut dengan bendera Armenia berkeliaran di bawah sinar matahari yang cerah menjelang pawai. Beberapa membawa foto pahlawan perlawanan Armenia, sementara yang lainnya memegang spanduk yang menggambarkan Erdogan sebagai iblis atau pembunuh. 'Hitlerdogan', tulis salah satu spanduk.

Selain peristiwa 1915, konflik tahun lalu atas wilayah separatis Nagorno-Karabakh antara Armenia dan sekutu Turki Azerbaijan juga menjadi penyebab duka di kalangan pengunjuk rasa.

Kemarahan terhadap presiden Azerbaijan Ilham Aliyev semakin meningkat setelah Armenia mengalami kekalahan telak dan kehilangan sebagian besar wilayah.

Kemarahan itu terungkap pada spanduk yang mereka bawa pada hari Sabtu, “Aliyev, Erdogan keluar dari Artsaskh,” tulis salah satu spanduk, menggunakan nama lain untuk merujuk ke wilayah yang disengketakan.

Namun, di tengah keputusasaan kekalahan Armenia, dan penderitaan atas perlakuan Azerbaijan terhadap 300 tahanan politik Armenia, ada kecemasan atas kekerasan yang ditimbulkan oleh milisi ultra-nasionalis Turki di Prancis.

“Mengerikan. Bahwa tentakel Turki dapat menjangkau hingga Prancis. Seolah-olah kampanye kebencian Turki terhadap orang-orang Armenia tidak pernah berakhir," kata Sabrina Davidian (39) yang membawa spanduk bertuliskan 'Turki, keluar dari Armenia',

Banyak orang di rapat umum Paris juga terganggu oleh serangan tahun lalu di Décines, pinggiran kota tenggara Lyon.

Pada tanggal 28 Oktober, di tengah berkecamuknya perang Nagorno-Karabakh, ratusan pendukung milisi Grey Wolves, sayap kanan Turki turun ke jalan Décines, meneriakkan 'Matilah orang Armenia'.

Di mana orang Armenia? teriak para penyerang saat mereka berbaris melalui kota, memegang jeruji besi dan bendera nasional dan meneriakkan slogan-slogan pro-Erdogan saat mereka menghancurkan toko-toko Armenia kala itu.

"Seolah-olah kami berada di Jerman tahun 1930-an," kata teman Veskan, Sevag -seorang generasi ketiga Armenia- yang seperti banyak orang di rapat umum itu meminta untuk tidak menyebutkan nama lengkapnya.

"Mereka tidak akan pernah berani melakukan itu 10 tahun lalu," katanya menjelang peringatan tersebut.  

"Erdogan memberi mereka kepercayaan diri, dia membiayai mereka, kedutaan Turki di sini adalah halaman belakang rumahnya," kata Sevag, menambahkan bahwa komunitas Armenia telah mulai meningkatkan keamanan di sekolah dan asosiasi, dan mulai menggunakan pengawal.

Sevag marah karena biang keladi serangan di Décines, Ahmet Cetin (23), yang secara terbuka menghasut kekerasan terhadap orang-orang Armenia di media sosial, hanya dijatuhi hukuman percobaan enam bulan dan denda 1.000 euro

“Bayangkan seorang anak berusia 16 tahun mendengar kata-katanya, melihat ada sekolah Armenia dan berpikir, 'Saya akan melakukan pekerjaannya',” kata Sevag.

Prancis sendiri telah melarang Grey Wolves pada November 2020 tetapi tidak ada seorang pun di rapat umum yang percaya bahwa mereka benar-benar hilang.

Tigrane Yegavian, seorang jurnalis dan peneliti di think tank CF2R (French Intelligence Research Center), memperingatkan bahwa api konflik kuno sedang berperan di Prancis.

“Apa yang terjadi sangat berbahaya,” katanya.

"Jika tidak ada yang dilakukan di Prancis, praktis kita menuju perang saudara," ujarnya, seraya menambahkan bahwa orang-orang Armenia tidak pernah mengalami masalah dalam berintegrasi di mana pun, kecuali di Azerbaijan dan Turki.

“Saya tidak membenci Turki, tidak lagi,” kata penulis Ian Manook (71) yang novel terbarunya terinspirasi oleh neneknya, yang dijual ke Turki sebagai budak ketika dia berusia 10 tahun.

“Kami berbagi makanan yang sama, musik yang sama… tarian yang hampir sama. Saya menyalahkan negara Turki… dan Erdogan sedang bermain api," katanya.

Jumlah peserta di rapat umum, yang diadakan di tengah keamanan yang ketat, lebih rendah dari tahun lalu karena pembatasan Covid-19 yang diberlakukan di Prancis. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA