Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kisah Sedih Jurnalis India, Meliput Berita Covid-19 Dan Hadapi Kenyataan Keluarga Jadi Korban Di Hari Yang Sama

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Senin, 03 Mei 2021, 13:40 WIB
Kisah Sedih Jurnalis India, Meliput Berita Covid-19 Dan Hadapi Kenyataan Keluarga Jadi Korban Di Hari Yang Sama
Tenaga kesehatan dan kerabat membawa jenazah pasien Covid-19 ke krematorium di New Delhi, India/Net
rmol news logo Suasana muram dan sedih dirasakan sebagian besar jurnalis India di Hari Kebebasan Pers Sedunia yang jatuh pada hari ini, Selasa (3/5).

Di tengah perjuangan mereka dalam melaporkan berita tentang Covid-19 di India, mereka juga sekaligus menjadi korban gelombang dahsyat virus corona yang telah memporak-porandakan sistem kesehatan negara itu.
Ada banyak cerita yang menunjukkan keputusasaan di antara jurnalis India di tengah badai Covid-19.  Mereka mencoba menggabungkan antara liputan gelombang mematikan kedua dari pandemi dan memperhatikan diri mereka sendiri serta anggota keluarga.

Barkha Dutt, seorang jurnalis televisi top India, harus bertarung antara tugas dan berita kematian ayahnya. Pada saat ia berada di lapangan untuk merekam tragedi tsunami Covid-19 dan penderitaan orang-orang di rumah sakit, dia harus menerima berita kematian ayahnya yang berusia 80 tahun.

“Saya merekam dan melaporkan apa yang saya liput di tengah badai Covid-19, tetapi saya sendiri menjadi bagian dari kisah sedih itu. Seolah-olah saya sekarang berada di sisi lain kamera," kata Barkha Dutt, seperti dikutip dari Anadolu Agency, Senin (3/5).

Seperti orang India kebanyakan saat ini, dia harus berjuang mencari ambulans, tabung oksigen, meminta tempat tidur di rumah sakit, sampai mencari tempat untuk mengkremasi ayahnya.

“Semua berdesak-desakan di tempat itu untuk memberi penghormatan terakhir kepada orang-orang yang telah meninggal. Saya melaporkan (berita) hari ini. Duka nasional menjadi duka pribadi," ujarnya.

Kisah lain dialami Suhasini Raj, seorang jurnalis yang bekerja dengan kantor The New York Times di New Delhi. Ketika sedang menulis sebuah berita, dia mendapat telepon bahwa keluarganya jatuh sakit dan tingkat oksigen ayah mertuanya menurun.

“Saat meliput dan menulis cerita, dan saya harus bolak-balik menanyakan kondisi keluarga saya sampai memesan tempat tidur di rumah sakit dan oksigennya,"  katanya pada pertemuan online yang diselenggarakan oleh Klub Koresponden Asing Asia Selatan (FCCSA).

Kisah jurnalis yang tertular infeksi saat melakukan tugas profesional datang dari seluruh India. Menurut angka sementara yang dirilis oleh Institute of Perception Studies (IPS) yang berbasis di Delhi, 77 jurnalis telah kehilangan nyawa mereka pada bulan April saja, sejak dimulainya gelombang kedua pandemi.

Artinya, rata-rata dua jurnalis meninggal setiap hari dalam sebulan terakhir. Selama setahun terakhir, 128 juru tulis telah meninggal setelah tertular virus.

Saluran media dan organisasi telah bekerja tanpa henti sejak awal pandemi di India, mencoba menyusun dan memverifikasi jumlah kematian yang sebenarnya.

“Para jurnalis tidak hanya memberitakan tentang krisis kesehatan nasional tetapi juga menghadapinya, setiap hari, yang telah merugikan mereka,” kata Kota Neelima, penulis dan pendiri IPS.

Kalyan Barooah, kepala biro Assam Tribune, dan istrinya yang seorang jurnalis, Nilakshi, meninggal beberapa hari lalu dalam waktu 24 jam di sebuah rumah sakit di Delhi setelah tertular Covid-19. Pasangan itu meninggalkan seorang putri remaja. Pada hari yang sama Anirban Bora dari The Economic Times juga kalah perang melawan virus.

Sehari sebelumnya, jurnalis televisi Rohit Sardana (41), yang dinyatakan positif virus corona, meninggal dunia. Kakoli Bhattacharya, yang bekerja di kantor harian Inggris The Guardian di New Delhi, juga meninggal.

Sebanyak 30 jurnalis meninggal karena penyakit menular di provinsi terbesar di India, Uttar Pradesh, diikuti oleh Telangana yang melaporkan 19 kematian, termasuk wartawan veteran yang berbasis di Hyderabad, K. Amaranath, seorang pengurus Indian Journalists Union (IJU).

Raj mengatakan bahwa tidak ada yang siap menghadapi bencana seperti itu di India, di mana, sesuai angka resmi, penghitungan virus corona harian melampaui tonggak suram 400.000 dan 3.500 kematian pada hari Sabtu (2/5).

Dia berkata bahwa memusatkan perhatian pada pelaporan dan kemudian tidak memikirkan keluarga merupakan tantangan.

Vikas Pandey, editor platform digital BBC di India, menggambarkan meliput pandemi sebagai fase tersulit dalam sejarah jurnalisme di India.

Saat pergi meliput, kemudian mendapat telepon dari teman dan anggota keluarga bahwa mereka tengah berjuang mendapatkan tempat tidur di rumah sakit, persediaan oksigen, dan obat-obatan, membuat para jurnalis menjadi korban psikologis.

“Kami telah melaporkan masa-masa sulit, dulu. Saat ledakan bom dan serangan teror. Tapi ini adalah sesuatu di atas semuanya, ini fase yang sangat sulit," kata Pandey, yang kehilangan sepupunya karena virus.

Mahes Langa, yang bekerja di harian nasional terkemuka The Hindu, dari negara bagian Gujarat di India barat, mengatakan sangat tertekan karena mendapat telepon dari orang-orang yang meminta bantuan untuk mendapatkan akses ke ventilator. Dia mengatakan bahwa hanya dalam satu minggu, empat jurnalis tingkat atas tewas di negara bagian itu.

Ia mengeluhkan keaslian data menjadi isu besar pada gelombang kedua. Dia mengatakan selama gelombang pertama yang melanda negara itu tahun lalu, pejabat dan otoritas rumah sakit datang dengan data dan rincian lainnya.

“Keaslian data sekarang menjadi masalah besar. Data resmi tidak mencerminkan situasi lapangan. Petugasnya juga tidak bisa dihubungi dan datang sekarang,” ujarnya.

Namun dia mengatakan bahwa media sosial telah datang untuk menyelamatkan jurnalis seperti dia.

“Dengan tidak adanya media sosial, kami akan berada dalam kegelapan. Kami mendapat arahan dari media sosial dan kemudian memverifikasinya sebelum mengubahnya menjadi berita," kata Langa.

Selama setahun terakhir, Kashmir Life, mingguan populer terkemuka yang berbasis di Srinagar, harus menutup ruang berita tiga kali karena infeksi. Saat ini, semua staf, termasuk Pemimpin Redaksi Masood Hussain, berada di karantina karena tertular virus saat meliput gelombang kedua.

Hussain mengatakan selama gelombang pertama tahun lalu, timnya berhasil mewawancarai Dr. Adul Gani Ahanger, direktur Institut Ilmu Kedokteran di Srinagar.

“Kami melihat bahwa pembantunya di kanan dan kiri kami batuk. Dua hari kemudian, keduanya dinyatakan positif. Seminggu kemudian, dokter senior yang menjadi fasilitator wawancara juga melaporkan positif," ujarnya yang memaksanya untuk memerintahkan penutupan ruang redaksi.

Dalam insiden lain, seorang reporter muda, Khalid Bashir Gura, datang ke kantor dengan penuh semangat karena dia berhasil melakukan wawancara eksklusif dengan seorang mahasiswa Kashmir yang pulang dari Italia, menghindari pemindaian di bandara Srinagar. Reporter, dalam kegembiraan, berjabat tangan tanpa menyadari konsekuensinya.

Hussain, yang menghabiskan berhari-hari di unit perawatan intensif, mengatakan infeksi telah membuat kantornya hidup dalam krisis.

Manish Gupta, presiden FCCSA percaya bahwa ini adalah masa yang melelahkan bagi jurnalis.

 â€œGelombang kedua Covid-19 telah memberikan tantangan yang unik dan serius bagi media yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Jurnalis juga manusia, terkena trauma psikologis, fisik, dan emosional yang menghantui dan mempengaruhi keluarganya," ujarnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA