Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Katalin Kariko, Ilmuwan Perempuan Di Balik Vaksin Covid-19 Yang Penelitiannya Diragukan Selama Bertahun-tahun

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Jumat, 07 Mei 2021, 09:15 WIB
Katalin Kariko, Ilmuwan Perempuan Di Balik Vaksin Covid-19 Yang Penelitiannya Diragukan Selama Bertahun-tahun
Katalin Kariko/Net
rmol news logo Berkat vaksinasi skala besar, harapan umat manusia untuk keluar dari pandemi Covid-19 sudah di depan mata. Jika ada seseorang yang harus menerima ucapan terima kasih atas penemuan vaksin tersebut, dia adalah Katalin Kariko, seorang ilmuwan yang kurang dikenal yang membuka jalan bagi pengembangan vaksin di dunia Barat.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Kariko adalah seorang ahli biokimia kelahiran Hungaria. Dia merupakan salah satu pelopor di balik RNA messenger sintetis (mRNA), teknologi yang digunakan oleh Pfizer / BioNTech dan Moderna dalam vaksin Covid-19. Dalam tubuh manusia, RNA  (ribonukleat acid) berperan sebagai pembawa informasi genetik dan menerjemahkannya dalam sintesis berbagai macam protein.

Ini adalah kisah tentang seorang ilmuwan yang berjuang, bertahan dan menolak untuk berhenti.

Dikutip dari CGTN, Kariko menghabiskan sebagian besar karirnya menghadapi penolakan. Karyanya, yang mencoba memanfaatkan kekuatan mRNA untuk melawan penyakit, telah lama dianggap terlalu ortodoks untuk mendapatkan hibah pemerintah, pendanaan perusahaan, dan bahkan dukungan dari rekan-rekannya sendiri.

Lahir pada tahun 1955, Kariko adalah putri seorang tukang daging di kota kecil Kisujszallas di Hongaria. Terpesona oleh sains sejak usia muda, Kariko memperoleh gelar PhD di University of Szeged dan bekerja sebagai postdoctoral fellow di Biological Research Center. Pada 1985, ketika program penelitian universitas kehabisan uang, Kariko pindah ke Amerika Serikat bersama suami dan putrinya yang berusia dua tahun sebagai mahasiswa pascadoktoral di Temple University di Philadelphia.

Pada tahun 1989, dia mendapatkan posisi tingkat rendah sebagai asisten profesor peneliti di Universitas Pennsylvania di mana dia bekerja dengan  Elliot Barnathan, seorang ahli jantung. Dia tidak dapat menerima uang hibah, dan ketika Dr. Barnathan meninggalkan universitas setelah menerima posisi di sebuah perusahaan bioteknologi, Kariko ditinggalkan tanpa laboratorium atau dukungan keuangan.

Untungnya, ada kolega lain yang percaya padanya, dia adalah David Langer, seorang ahli bedah saraf yang mendesak kepala departemen bedah saraf untuk memberi kesempatan pada penelitian Kariko.

Langer ingat bahwa tidak seperti ilmuwan lain, Kariko tidak pernah peduli tentang paten atau cara menghasilkan uang dari penemuan baru. Langer juga meninggalkan universitas sesudahnya.
Pada 1995, 10 tahun setelah dia tiba di AS, Kariko diturunkan dari posisinya di UPenn dan kemudian didiagnosis menderita kanker. Dengan tidak adanya uang yang masuk untuk mendukung pekerjaannya pada mRNA, dia kembali ke anak tangga paling bawah di akademi ilmiah.

Tapi itu adalah pertemuan yang menentukan oleh mesin fotokopi di akhir 1990-an yang mendorong karier Kariko. Di sana dia bertemu dengan ahli imunologi Drew Weissman, yang sedang mengerjakan vaksin HIV.

Duo ini mulai berkolaborasi dan menulis hibah, tetapi dengan sedikit keberuntungan.

“Kami tidak mendapatkan sebagian besar dari mereka. Orang-orang tidak tertarik dengan mRNA. Orang-orang yang meninjau hibah mengatakan mRNA tidak akan menjadi terapi yang baik, jadi jangan repot-repot,” kata Weissman.

Jurnal ilmiah terkemuka juga menolak pekerjaan mereka. Ketika penelitian tersebut akhirnya dipublikasikan, hanya mendapat sedikit perhatian.

“Biasanya, saat itu, orang hanya pamit dan pergi karena sangat mengerikan,” kata Kariko dalam sebuah wawancara.

Tetapi dia tidak menyerah begitu saja dalam menghadapi kesulitan-kesulitan ini.

“Dari luar, sepertinya gila, berjuang, tapi saya senang di lab,” katanya kepada Business Insider.

Pada tahun 2005, Kariko dan Weissman mencapai terobosan besar, memungkinkan RNA sintetis melewati sistem kekebalan tubuh.

Pekerjaan mereka akhirya menarik perhatian dua ilmuwan kunci. Salah satunya adalah ahli biologi sel induk Kanada Derrick Rossi, yang kemudian membantu mendirikan Moderna dan calon mitra Pfizer, BioNTech. Rossi tidak hanya mengakuinya sebagai terobosan, dia sekarang yakin Kariko dan Weissman pantas mendapatkan Hadiah Nobel di bidang kimia.

Para peneliti di Pfizer-BioNTech dan Moderna menggunakan teknik ini untuk mengembangkan vaksin mereka. Setelah puluhan tahun berada di pinggiran komunitas ilmiah, Kariko dan Weissman menjadi favorit untuk memenangkan Hadiah Nobel untuk Kedokteran pada tahun 2021.

“Ini akan berubah,” kata Anthony Fauci, direktur Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular AS tentang penelitian mRNA.

“Ini sudah berubah untuk Covid-19, tetapi juga untuk vaksin lain. HIV - orang di lapangan sudah bersemangat; influenza, malaria,” ujarnya.

Ketika uji coba menemukan bahwa vaksin virus corona Pfizer-BioNTech aman dan 95 persen efektif pada November 2020, reaksi pertama Kariko adalah rasa “penebusan,” katanya kepada The Daily Telegraph.

Meski sudah berjaya setelah perjuangan panjangnya, Kariko mengaku masih menunggu vaksinasi massal untuk memberantas ancaman virus tersebut. “Kalau begitu, saya benar-benar akan merayakannya,” katanya kepada CNN. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA