Menurutnya, resolusi ini lebih menyangkut penentuan apakah agenda ini akan dijadikan mata agenda tetap atau masih harus divoting tiap tahunnya. Pengambilan suara tersebut dalam rangka pembentukan agenda baru tahunan, tidak dilakukan terhadap gagasan R2P.
“Posisi voting Indonesia itu adalah terkait rancangan resolusi dimaksud (prosedural), bukan terhadap gagasan R2P,†kata Faizasyah dalam keterangannya, Kamis (20/5).
Menurutnya, substansi dari R2p sendiri sudah dibahas bertahun-tahun dan tidak ada masalah dan Indonesia pun ikut dalam pembahasan tersebut.
Gagasan Responsibility to Protect merupakan prinsip dan kesepakatan internasional yang bertujuan mencegah pemusnahan massal, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan lainnya. Indonesia tentu saja mendukung penuh R2P.
Faizasyah menegaskan lagi, posisi Indonesia masih sama, yakni akan selalu aktif terlibat dalam pembahasan R2P sejak 2005.
“Indonesia mendukung penuh gagasan R2P dan bahkan pada tingkat tertinggi. Presiden RI mendukung diadopsinya Resolusi 60/1 secara konsensus pada tahun 2005,†jelasnya.
Penolakan Indonesia menjadi perbincangan ketika akun lembaga swadaya masyarakat (LSM) PBB @UNWatch dalam cuitan terbarunya pada Kamis (20/5) menayangkan hasil voting rapat pleno Sidang Umum PBB.
Sidang Umum PBB bertema “The Responsibility to Protect (R2P) and the prevention of genocide, war crimes, ethnic cleansing, and crimes against humanity' adalah bagian dari agenda formal sidang ke-75.
Rapat tersebut membahas soal kewajiban negara-negara untuk menjaga dan pencegahan genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Hasil voting pada penutupan sidang memaparkan bahwa 115 negara bagian memberikan suara mendukung, 28 abstain dan 15 suara menentang. Indonesia berada pada urutan 15 negara yang menolak.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: