Presiden Prancis Emmanuel Macron menegaskan kudeta di Mali tidak dapat dibenarkan.
"Kami siap dalam situasi di Mali dengan ketegasan terbesar. Kami siap dalam beberapa jam ke depan untuk mengambil kemungkinan sanksi terhadap para protagonis," ujarnya pada Selasa (25/5), seperti dikutip
Anadolu Agency.
Beberapa jam sebelum pernyataan Macron, Menteri Luar Negeri Jean-Yves Le Drian, yang berpidato di depan majelis nasional, menuntut pembebasan segera Presiden Bah Ndaw, Perdana Menteri Moctar Ouane, serta dimulainya kembali transisi ke normal.
Ndaw, Ouane dan Menteri Pertahanan Souleymane Doucoure, yang ditugaskan untuk mengawasi transisi ke pemerintahan sipil, ditangkap oleh pejabat militer dalam sebuah percobaan kudeta pada Senin malam (24/5).
"Karakter sipil dari transisi adalah
sine qua non dari kredibilitasnya. Kami akan segera mengambil tindakan penargetan terhadap pejabat militer dan itu menghalangi transisi," ujar Le Drian.
Le Drian mengatakan situasi itu akan segera dibicarakan di Dewan Keamanan PBB dan Uni Afrika, Komite Komite Ekonomi Negara-negara Afrika Barat ECOWAS.
Prancis memiliki kehadiran militer yang kuat dan kepentingan politik yang tinggi dalam keamanan Mali. Setelah kudeta pada tahun 2012, Prancis mengerahkan pasukan untuk menggulingkan ekstremis Islam dan mencegah pengambilalihan wilayah utara.
Sejak 2013, lebih dari 5.000 tentara Prancis telah dikerahkan di bawah Operasi Barkhane yang dipimpin oleh Prancis bersama negara-negara G5 Sahel untuk memerangi kelompok-kelompok ekstremis bersenjata di wilayah tersebut, khususnya Al Qaeda dan ISIS.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: