Dua perusahaan energi tersebut diketahui telah menangguhkan pembayaran proyek pipa gas di Myanmar pada 26 Mei sebagai tanggapan atas kudeta dan kekerasan yang dilakukan oleh militer terhadap pengunjuk rasa.
Human Rights Watch (HRW) mengatakan, pemerintah dan semua perusahaan energi yang beroperasi di Myanmar harus mempertimbangkan hal serupa. Lantaran sumber pendanaan terbesar bagi militer merupakan gas alam, termasuk 1 miliar dolar AS dari bea masuk, pajak, royalti, biaya, tarif, dan keuntungan lainnya.
“Keputusan Chevron dan Total baru-baru ini merupakan langkah ke arah yang benar, tetapi itu mempengaruhi kurang dari 5 persen pendapatan gas alam yang diterima junta Myanmar,†ujar direktur HRW Asia John Sifton, seperti dimuat
Eurasia Review pada Minggu (30/5).
“Untuk mendapatkan dampak nyata, pemerintah dan perusahaan perlu melangkah lebih jauh untuk menghentikan junta menerima dana atau mengakses rekening bank yang menerima pembayaran," tambahnya.
Keputusan yang diumumkan oleh Total dan Chevron hanya menyangkut 15 persen dividen yang dibayarkan oleh perusahaan pipa, Perusahaan Transportasi Gas Moattama.
Total dan Chevron bersama-sama adalah pemilik mayoritas di Moattama, dengan masing-masing 31,2 persen dan 28,3 persen dari proyek tersebut.
Perusahaan tersebut dikendalikan militer Myanmar Oil and Gas Enterprise (MOGE), memiliki 15 persen, dan perusahaan gas milik negara Thailand PTT memiliki 25,5 persen.
Total bertindak sebagai "operator" dari kepala sumur Yadana dan infrastruktur jalur pipa Moattama. Pembayaran yang ditangguhkan adalah dividen kepada perusahaan-perusahaan ini berdasarkan bagian kepemilikan mereka.
Menurut catatan keuangan Moattama, perusahaan membayar MOGE sekitar 38 juta dolar AS pada 2018 dan sekitar 52 juta dolar AS pada 2019, sesuai dengan pelaporan EITI.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: