Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Analis: Wawancara Axios Dengan PM Pakistan Sangat Merendahkan Dan Menghina

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Selasa, 22 Juni 2021, 15:54 WIB
Analis: Wawancara Axios Dengan PM Pakistan Sangat Merendahkan Dan Menghina
Perdana Menteri Pakistan Imran Khan/Net
rmol news logo Analis politik dan hubungan internasional Inggris lulusan universitas Durham dan Oxford, Tom Fowdy, ikut mengomentari isi wawancara antara Jonathan Swan dari Axios bersam Perdana Menteri Pakistan Imran Khan di HBO Amerika.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Dalam wawancara yang tayang pada Senin (21/6), Swan mencecar Khan dengan sejumlah pertanyaan terkait penentangannya terhadap kebijakan anti-Islam di Barat, sementara Khan sendiri tidak terdengar mengomentari kasus dugaan genosida di Uighur Xinjiang.

Khan menjawab dengan mengatakan China dan Pakistan berbagi persahabatan khusus jangka panjang dan bahwa Beijing selalu memberikan dukungan kepada Islamabad di masa-masa terberat.

"Setia perbedaan kami selesaikan secara pribadi," kata Imran Khan.

Meskipun demikian, Axios yang dikenal berpandangan anti-China bergerak untuk menggambarkan posisi Imran Khan dengan menerbitkan artikel yang mengklaim bahwa Khan dibungkam oleh China.

'Khan diam karena alasan sederhana: Pakistan yang kekurangan uang menjadi semakin bergantung secara finansial pada China, untuk miliaran pinjaman dan investasi. Pinjaman ini ada harganya: negara-negara berkembang yang menerimanya lebih baik tidak mengatakan apa pun di depan umum untuk menimbulkan kemarahan China'.

Fowdy dalam artikelnya  yang dimuat CGTN, Senin (21/6), mengatakan, pandangan Axios itu sangat merendahkan posisi Pakistan.

"Ini adalah penggambaran yang merendahkan, menghina, dan benar-benar salah tentang hubungan China-Pakistan, dan masalah yang dipertaruhkan," kata Fowdy.

Fowdy mencatat, Xinjiang dijajakan oleh Barat dalam jargon yang sangat politis dan moralistik, tetapi pada akhirnya hal itu dirasakan oleh Beijing melalui lensa stabilitas dan kontra-terorisme setelah puluhan tahun kerusuhan dan kekerasan.

"Pakistan memahami premis ini. Kenapa begitu? Karena Islamabad juga menghadapi masalah dengan terorisme dan separatisme, dan selanjutnya mendukung gangguan di Xinjiang berarti mendukung ketidakstabilan di dalam negeri," katanya.

"Posisi ini bukan hanya milik Pakistan, tetapi juga dimiliki oleh seluruh dunia Muslim yang lebih luas. Iran, Irak, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir, negara-negara besar agama Islam, juga mencerminkan pandangan ini," kata Fowdy.

Dia mengatakan, penekanan yang menyesatkan tentang 'uang' menggarisbawahi gambaran yang lebih besar bahwa stabilitas dan kedaulatan nasional penting bagi semua negara.

Narasi yang dikembangkan oleh Barat; bahwa China adalah musuh sejati dunia Muslim, itu sama sekali tidak memiliki kredibilitas dan secara memalukan mengabaikan sejarah kontemporer.

"Inilah sebabnya mengapa negara-negara Muslim berbicara menentang Barat, yang terus menjadi ancaman nyata bagi nilai-nilai dan masyarakat Islam, tetapi bukan Beijing," ujarnya.

"Meskipun ideologi China dan banyak negara Muslim sangat berbeda, China tidak menyebarkan ideologinya atau ikut campur dalam urusan negara-negara Islam," kata dia lagi.

Fowdy berpendapat, prinsip-prinsip ini merupakan posisi dasar dari kepentingan bersama, pemahaman bersama dan rasa hormat yang mendasarinya.

"Ini pada gilirannya telah menjadi mortir dalam kemitraan yang berkembang antara China dan Pakistan," ungkapnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA