Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Survei: Setengah Warga Tiongkok Percaya Bahwa Australia Terlalu Tergantung Pada China Soal Ekonomi

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Rabu, 23 Juni 2021, 14:32 WIB
Survei: Setengah Warga Tiongkok Percaya Bahwa Australia Terlalu Tergantung Pada China Soal Ekonomi
Ilustrasi/Net
rmol news logo Di tengah hubungan yang penuh ketegangan dan dingin, sebagian besar penduduk China percaya bahwa Australia terlalu bergantung kepada negara mereka dalam hal ekonomi.

Hal itu terungkap dalam survei terbaru yang dilakukan oleh media China Global Times bekerja sama dengan Pusat Studi Australia dari Universitas Studi Asing Beijing (BFSU).

Survei dilakukan dalam rentang  11-15 Juni, dan berhasil mengumpulkan  2.067 tanggapan dari warga di 10 kota di China,  di antara orang-orang yang berusia 18-70 tahun.

Ketika ditanya apakah mereka setuju bahwa "Australia terlalu bergantung pada China secara ekonomi", sekitar 49,6 persen peserta mengatakan mereka setuju.

Jumlah ini meningkat 6,4 persen dibandingkan dengan 2020. Sementara 27,2 persen memiliki pandangan berbeda.

Survei  juga menunjukkaa bahwa 76,9 persen orang tidak percaya bahwa China terlalu bergantung pada Australia secara ekonomi/

"Dilihat dari Hasil survei tersebut, orang China umumnya tidak percaya bahwa negara mereka terlalu bergantung pada Australia, secara ekonomi," menurut analisis dari Australian Studies Centre of BFSU.

Sementara, Direktur Pusat Studi Negara-negara Kepulauan Pasifik dari Universitas Studi Luar Negeri Guangdong, Zhou Fangyin, mengatakan, hasil studi tersebut menunjukkan bahwa orang China lebih tenang dan lebih positif daripada orang Australia, yang ingin mencari pasar ekspor alternatif lain daripada China.

China adalah mitra dagang terbesar Australia. Dalam 12 bulan hingga Maret, Australia mengekspor barang senilai 116 miliar dolar AS ke China, atau turun 0,6 persen dari tahun sebelumnya.

Ekspor, bagaimanapun, telah didukung oleh harga yang kuat untuk bijih besi, item tunggal terbesar dalam perdagangan dengan China.

Dalam hal anggur, Australia, yang dulunya merupakan pesaing kuat anggur Prancis di pasar China, saat ini telah kehilangan posisi teratasnya dan terganti oleh anggur Prancis. Dalam lima bulan pertama tahun ini, impor anggur dari Australia tercatat hanya sepersepuluh dari Prancis dalam hal kuantitas, menurut data bea cukai.

Analis juga memperingatkan bahwa meskipun gesekan saat ini masih terlihat dalam perdagangan barang, sektor lain seperti perdagangan jasa akan lebih terpengaruh, mengingat ketegangan dalam hubungan bilateral.

Survei menunjukkan bahwa mereka yang memilih Australia sebagai tujuan wisata ideal turun 4,3 poin persen dibandingkan dengan tahun 2020.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian baru-baru ini mengatakan bahwa tanggung jawab atas hubungan yang berantakan di antara kedua negara itu 'sama sekali bukan salah China'.  Australia harus memperlakukan China dengan objektivitas dan rasionalitas.

China telah bersikeras untuk mendepolitisasi sektor ekonomi dan perdagangan, dan oleh karena itu apakah China akan mengambil tindakan balasan lebih lanjut terhadap Australia, tergantung pada sikap dan arah kebijakan Australia.

"China dapat mengambil tindakan terhadap Australia terkait dengan semua produk kecuali bijih besi, satu-satunya komoditas yang sulit diperoleh China dari sumber alternatif," kata Yu Lei, kepala peneliti di pusat penelitian untuk Negara-negara Kepulauan Pasifik Universitas Liaocheng di China Timur.

Menurut Yu, Australia telah berusaha untuk mengurangi impor produk seperti pakaian dari China 'sebanyak mungkin' dan mencari sumber alternatif seperti India, Vietnam dan Sri Lanka, tetapi sulit untuk menemukan sumber seperti itu yang dapat menggantikan China. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA