Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pengamat: Untuk Mengembalikan Hubungan Beijing-Canberra Ke Jalurnya, Australia Perlu Meningkatkan Pemahaman Soal China

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Jumat, 25 Juni 2021, 13:37 WIB
Pengamat: Untuk Mengembalikan Hubungan Beijing-Canberra Ke Jalurnya, Australia Perlu Meningkatkan Pemahaman Soal China
Kepala Departemen Luar Negeri Australia, Frances Adamson/Net
rmol news logo Pidato yang baru-baru ini disampaikan sekretaris Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia (DFAT), Frances Adamson dinilai bertolak dengan fakta yang ada dan juga menunjukkan pemahaman yang dangkal soal China.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Sebuah artikel yang dimuat di Global Time pada Kamis (24/6) menyoroti bahwa isi pidato Adamson  justru menunjukkan bahwa pejabat yang akan mengakhiri masa tugasnya itu yang tidak paham soal China.

Dalam pidatonya yang disampaikan di Canberra menjelang berakhirnya masa jabatan Adamson di DFAT pada Rabu (23/6) Adamson mengupas pemahamannya tentang China. Mengatakan bahwa China saat ini telah kehilangan pengaruhnya di Australia dan banyak negara lain yang pada akhirnya menciptakan rasa tidak aman. Rasa tidak aman ini justru memperkuat ketegangan yang terus menerus antara Canberra dan Beijing.

China juga memiliki'pola pikir yang sangat defensif dalam memahami ancaman eksternal bahkan ketika itu mendorong kepentingannya di atas kepentingan orang lain.

"China mengadopsi Siege Mentality karena ketidakamanannya, dan ketegangan antara Canberra dan Beijing kemungkinan akan berlanjut untuk beberapa waktu," katanya, seperi dikutip dari Finansial Review, Rabu (23/6).

Sebuah opini di Global Time mencatat bahwa pidato Adamson sangat bertolak belakang dengan fakta yang ada.

"Di mana rasa 'ketidakamanan' China? Di dunia sekarang ini, China adalah salah satu negara yang paling percaya diri, dan Partai Komunis China adalah salah satu partai politik yang paling percaya diri," tulis artikel itu.

Artikel itu kemudian menyodorkan fakta bahwa baru-baru ini pesawat ruang angkasa berawak Shenzhou-12 milik China baru saja mengirim tiga taikonaut ke stasiun luar angkasa milik  China sendiri.

"Pencapaian di bidang kedirgantaraan merupakan salah satu pendorong besar kepercayaan masyarakat Tiongkok, dengan latar belakang bahwa ekonomi Tiongkok telah memimpin dalam pemulihan dari epidemi Covid-19," kata artikel itu.

Media tersebut juga mengatakan, bahwa pada saat yang sama, ekonomi China tampaknya lebih stabil dan makmur daripada kekuatan besar lainnya. China juga dikatakan mempercepat penyelesaian serangkaian masalah sosial dan ekonomi, yang secara bertahap diselesaikan melalui reformasi yang mendalam.

"Orang-orang China telah mendapatkan kepercayaan yang belum pernah terjadi sebelumnya di negara ini," tulis artikel itu.

Seperti yang ditunjukkan oleh Laporan Keamanan Munich yang dirilis pada 9 Juli, China adalah 'negara yang tidak terganggu' dan ada 'tanda kepercayaan rakyat China pada kekuatan negara mereka.

Pidato Adamson juga disebut menunjukkan bahwa Australia memiliki kesalahan serius dalam pandangannya tentang China, yang merupakan salah satu akar penyebab memburuknya hubungan bilateral.

Adamson sendiri adalah Duta Besar Australia untuk Beijing dari 2011 hingga 2015, dan pengawasannya terhadap Buku Putih Kebijakan Luar Negeri 2017 digambarkan sebagai 'instrumental' dalam memandu agenda kebijakan luar negeri Australia oleh Menteri Luar Negeri Australia Marise Payne.

Artikel itu menyinggung peran Adamson yang pernah menjadi duta besar Australia untuk China, yang ternyata masih memiliki pemahaman yang dangkal tentang China.

"Tidak heran persepsi keseluruhan Canberra tentang Beijing bias. Dengan kesalahpahaman seperti itu dan menjabat sebagai sekretaris DFAT selama bertahun-tahun, juga tidak mengherankan bahwa perdagangan China-Australia telah terpukul keras," kecam artikel itu.

Asisten peneliti di Institut Studi Internasional China, Ning Tuanhui, juga ikut mengomentari pernyataan Adamson.

"Pidato Adamson tidak hanya tidak konsisten dengan fakta, tetapi juga mencoba untuk menghilangkan kontradiksi. Australialah yang justru  selalu memiliki rasa tidak aman dan kecemasan yang mengakar, dan sentimen tersebut telah diperkuat selama bertahun-tahun, yang memengaruhi hubungan China-Australia," ujarnya pada Kamis (24/6).

Menurutnya, rasa tidak aman Australia tercermin dalam dua aspek.

Pertama, Australia telah mengikuti AS dalam mentalitas Perang Dingin melawan China, namun Canberra juga sangat bergantung pada Beijing dalam bidang ekonomi dan perdagangan.

Kedua, Australia memiliki masalah keamanan karena sejarah kelam penjarahan dan pembunuhan penduduk asli.

"Karena ilegalitas tanahnya sendiri yang berasal dari penduduk asli, Australia selalu khawatir bahwa negara Asia mana pun yang sedang naik daun akan melihat ke dalam penjarahan historisnya," kata Yu Lei, seorang peneliti kepala di pusat penelitian untuk negara-negara pulau Pasifik di Universitas Liaocheng di Provinsi Shandong, China Timur.

Karena rasa ketidakamanan pemerintah Australia itulah, orang Australia juga dinilai penuh dengan sentimen seperti itu.

Lowy Institute yang berbasis di Sydney pada hari Selasa merilis jajak pendapat tahunan terbaru, yang menunjukkan bahwa China dipandang sebagai ancaman sebesar 63 persen, mencerminkan peningkatan 22 poin persentase sejak jajak pendapat tahun lalu.

Mentalitas Australia perlu disesuaikan, dan juga perlu meningkatkan pemahamannya yang benar tentang China, tulis artikel itu.

"Untuk mendapatkan hubungan Beijing-Canberra dan kebijakan luar negeri Australia kembali ke jalurnya, politisi Australia perlu merenungkan pemahaman mereka tentang China terlebih dahulu." rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA