Untuk itu, Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishnan menegaskan, ASEAN akan mempercepat pelaksanaannya.
"Kami menyadari bahwa pelaksanaan lima poin konsensus berjalan lambat dan sedikit mengecewakan," ujar Balakrishnan kepada parlemen yang mempertanyakan isu tersebut pada Selasa (6/7), seperti dikutip
Reuters.
Selama KTT ASEAN pada bulan April, para pemimpin telah menyetujui lima poin konsensus yang harus dilakukan untuk menyelesaikan krisis Myanmar.
Dengan tidak adanya kerangka waktu yang disepakati, hingga saat ini lima poin konsensus tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya.
"Kami bekerja di dalam ASEAN untuk mempercepat proses ini, dengan maksud untuk meringankan situasi kemanusiaan, menghentikan kekerasan di Myanmar, dan mengembalikannya ke jalur negosiasi langsung oleh semua pemangku kepentingan yang akan mengarah pada keadaan normal, perdamaian, dan stabilitas bagi negara-negara ASEAN untuk jangka panjangnya,†jelas Balakrishnan.
Ia menekankan, komitmen ASEAN untuk memfasilitasi dan mendukung proses penyelesaian krisis di Myanmar tidak akan goyah, walau tidak akan berjalan cepat dan mudah.
Kekacauan terjadi di Myanmar sejak militer menggulingkan pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi pada 1 Februari. Kudeta memicu aksi protes dan bentrokan hampir setiap hari antara militer dan para pengunjuk rasa.
Sebagai upaya menghentikan kekerasan, Majelis Umum PBB menyerukan embargo senjata ke Myanmar pada bulan lalu.
Indonesia bersama Malaysia, Singapura, Filipina, Vietnam, dan Dutabesar Myanmar untuk PBB Kyaw Moe Tun yang mewakili pemerintah sipil terpilih di negara itu, memberikan suara untuk mendukung resolusi tersebut. Sementara Brunei, Kamboja, Laos, dan Thailand abstain.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: