Pria 62 tahun asal Sydney itu sudah didakwa sejak 2017 dengan sejumlah pelanggaran, termasuk menengahi kesepakatan penjualan suku cadang rudal Korea Utara antara Pyongyang dengan Jakarta.
Choi sendiri merupakan seorang insinyur sipil yang lahir di Korea Selatan, lalu pindah ke Australia pada 1980-an.
Selain suku cadang rudal Korea Utara, ia juga diketahui menjual barang-barang lain yang melanggar sanksi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Menurut laporan
Reuters, pada awalnya Choi menyangkal tuduhan tersebut. Namun pada Februari, ia mengaku bersalah karena menjadi perantara penjualan senjata dan barang lainnya dari Korea Utara dengan imbalan produk minyak bumi dan akses ekspor batu bara ke Indonesia.
Setelah proses penyelidikan yang panjang dan kompleks, Polisi Federal Australia (AFP) mengatakan, Choi akhirnya telah dijatuhi hukuman tiga setengah tahun penjara pada pekan lalu.
"Tindakan orang ini bertentangan dengan sanksi PBB, yang berarti banyak upaya dan organisasi diperlukan di pihaknya untuk memfasilitasi tindakan ilegal ini," kata Inspektur Penjabat Detektif AFP Kris Wilson.
"Penjualan barang-barang ini bisa membahayakan nyawa yang tak terhitung jumlahnya, dan semua anggota AFP yang terlibat dalam penyelidikan ini harus bangga dengan upaya mereka," tambahnya.
Hakim Mahkamah Agung negara bagian New South Wales, Christine Adamson kemudian mengatakan warga untuk tidak mencoba melanggar sanksi yang dapat melemahkan tekanan internasional.
Meski begitu, Adamson mengatakan beberapa kesepakatan yang diupayakan oleh Choi tidak dilanjutkan.
Dalam dokumen pengadilannya, Choi mengatakan, ia hanya ingin membantu rakyat Korea Utara lantaran sanksi yang menurutnya tidak adil, serta untuk mendapatkan uang.
Dengan vonis dari pengadilan, Choi sendiri sudah dibebaskan lantaran ia telah ditahan sejak ditangkap.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: