Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Ketergantungan Indonesia pada China Berisiko Ganggu Hubungan dengan Amerika

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ahmad-satryo-1'>AHMAD SATRYO</a>
LAPORAN: AHMAD SATRYO
  • Kamis, 29 Juli 2021, 21:12 WIB
Ketergantungan Indonesia pada China Berisiko Ganggu Hubungan dengan Amerika
Presiden Joko Widodo dan Presiden China Xi Jinping/Net
rmol news logo Hubungan bilateral Indonesia dengan China selama kurun waktu beberapa tahun belakangan semakin erat.

Mulai dari segi ekonomi hingga kesehatan, negeri Tirai Bambu selalu siap bekerjasama dan mendukung kebutuhan yang diperlukan Indonesia.

Namun, romantisme hubungan kedua negara ini diwanti-wanti Direktur Institute for Global and Strategies Studies UII Yogyakarta, Zulfikar Rachmat. Sebab ia melihat adanya ketidakseimbangan posisi antara kedua negara, dan juga dampak yang akan timbul ke depannya.

Sebagai contoh, ia memaparkan porsi kerjasama perdagangan Indonesia dengan China yang justru lebih menguntungkan China.

"Total ekspor Indonesia ke China sebesar 37,4 miliar dolar Amerika Serikat, dan impor (dari China) total sebesar 41 miliar dolar Amerika Serikat," ujar Zulfikar dalam diskusi publik Universitas Paramadina bekerjasama dengan Institute for Global and Strategic Studies UII Yogyakarta, yang digelar virtual, Kamis (29/7).

Dari segi kesehatan, Zulfikar melihat ketergantungan Indonesia dengan China nampak semakin erat dalam kerjasama penanganan pandemi Covid-19.

"Terlebih pada musim pandemi, China menjadi aktor tunggal dalam pemberian alat kesehatan dan obat-obatan terutama vaksin dalam proyek penanganan pandemi Covid-19," paparnya.

Namun yang paling disoroti Zulfikar adalah kerjasama ekonomi Indonesia-China yang semakin kentara bergantung "nurut" dengan disetujuinya pemberlakuan mata uang Yuan untuk transaksi di dalam negeri.

"Indonesia terkesan telah semakin tergantung dengan China dalam hal ekonomi hingga akan diberlakukannya mata uang Yuan dalam transaksi ekonomi dalam negeri yang telah disetujui Bank Indonesia (BI)," ungkap Zulfikar.

Menurutnya, disetujuinya pemberlakuan mata uang Yuan di dalam negeri justru akan meningkatkan risiko adanya devaluasi mata uang Yuan, sehingga produk-produk China yang masuk ke dalam negeri akan sangat murah.

"Hal itu jelas akan semakin memojokkan produk-produk lokal. Selain itu risiko lain dari semakin bergantungnya Indonesia ke China adalah risiko terganggunya hubungan RI dengan Amerika Serikat," tukasnya.

Dalam kondisi yang seperti itu, Zulfikar menilai Indonesia dalam posisi bergaining yang lemah terhadap China. Karena bukan tidak mungkin, di dalam negeri bakal dibanjiri produk impor China, dan yang paling berbahaya akan menimbulkan sentimen anti China di masyarakat.

"Untuk itu Indonesia harus memperjelas posisinya sebagai negara non blok dan dapat meningkatkan bargaining position-nya dalam bernegosiasi dengan China," tandasnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA