Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Perang Suriah Tidak Kunjung Usai, Orangtua Mendandani Anak Mereka untuk Dimakamkan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Senin, 02 Agustus 2021, 11:00 WIB
Perang Suriah Tidak Kunjung Usai, Orangtua Mendandani Anak Mereka untuk Dimakamkan
Sebuah mural karya Hussein Sabbagh di dinding sebuah rumah yang dibom di Binnish, provinsi Idlib Suriah yang dikuasai oposisi. Hussein tewas dalam serangan bom bersama pamannya/Net
rmol news logo Kekerasan meningkat dalam dua minggu sejak libur Idul Adha dimulai di Suriah. Puing-puing terlihat di segala penjuru di Binnish, kota di barat laut Suriah yang terkena bom. Tujuh gedung sekolah juga menjadi sasaran.

The Guardian
mencatat, banyak anak-anak yang menjadi korban. Bahkan, sebanyak 27 anak-anak telah tewas dalam serangan pemerintah di wilayah itu dalam dua bulan terakhir.

Salah satunya adalah Hussein Sabbagh yang berusia 13 tahun. Huseein dan keluarganya mencoba membangun kehidupan baru meskipun fakta bahwa perang masih berkecamuk di sekitar mereka. Sejak ia berusia delapan tahun, keluarganya membawanya lari untuk menghindari serangan Bashar al-Assad di Aleppo pada 2016.

Seperti jutaan warga Suriah lainnya, pelarian Huseein dan keluarganya berakhir di barat laut Suriah, kantong terakhir negara yang tetap berada di luar kendali rezim.

Hessein adalah pelukis cilik. Ia biasa membuat mural di dinding bangunan-bangunan di sekitarnya. Termasuk di dinding di rumahnya yang terkena bom. Mural karya Hussein yang dicat cerah menonjol menunjukkan sebuah rumah yang utuh, dengan hati cinta mengalir dari jendela.

Itu adalah goresan kenangan seorang bocah yang harus menutup matanya dan mengubur semua impiannya untuk menjadi seorang pelukis, ketika pasukan rezim menargetkan kolam renang di kota Fua dengan tembakan artileri.

Hussein, bersama dengan saudara laki-lakinya yang berusia 17 tahun, pamannya yang berusia 23 tahun, dan tiga warga sipil lainnya, terbunuh.

Seniman lokal Aziz al-Asmar, yang terkenal dengan mural muatan politiknya, menangisi kepergian Hussein.

“Hussein dicintai oleh semua orang. Dia membantu saya dalam banyak mural yang saya lukis. Dia berbakat dan memiliki imajinasi yang begitu indah,” kata Asmar, seperti dikutip dari The Guardian, Minggu (1/8).

"Ada satu gambar khusus yang sangat dia sukai, sebuah rumah dengan hati yang penuh cinta. Dia seolah ingin mengatakan bahwa bom ini membunuh cinta dan menghancurkan rumah,” kisah Asmar tentang lukisan karya Hussein di dinding rumahnya yang kini telah menjadi puing.

Asmar, meletakkan bunga di makam Hussein di Binnish minggu lalu. Rasa sedih karena hilangan asisten mudanya itu tidak membuatnya surut untuk terus berkarya membuat mural. Baginya, melukis tetap menjadi cara untuk berpegang pada harapan dan mengingatkan dunia bahwa warga Suriah masih memimpikan perdamaian dan keadilan.

“Sejak saya kembali ke Suriah dari Beirut bertahun-tahun yang lalu, saya berusaha menggambar senyum di wajah anak-anak. Saya mencoba membuat mereka melupakan, bahkan untuk sesaat, teror dan perang yang mereka alami,” katanya.

Laila Hasso, Direktur Komunikasi dan Advokasi untuk Jaringan Hurras - sebuah badan amal yang bekerja untuk melindungi anak-anak di Suriah -, mengatakan bahwa dalam beberapa tahun pemboman lebih sering terjadi di wilayah itu. Ia menandai ketika Hari Raya Idul Fitri di mana bom terus menerus menerjang dan anak-anak lebih banyak menjadi korban.  

“Tiga belas anak terbunuh hanya dalam tiga hari. Sekarang, setiap Hari Raya datang, kami takut kehilangan lebih banyak anak. Alih-alih memberi mereka pakaian baru untuk didandani dan dirayakan, orang tua mendandani anak-anak mereka untuk dimakamkan,” kata  Laila Hasso.  

Suriah barat laut sebagian besar diperintah oleh Hayat Tahrir al-Sham, atau HTS, sebuah kelompok Islam yang merebut kendali dari faksi oposisi lainnya pada tahun 2019. Sementara HTS telah melakukan upaya untuk menjauhkan diri dari asal-usul al-Qaida, kelompok tersebut menoleransi sedikit perbedaan pendapat. dan memberlakukan fatwa agama pada mereka yang tinggal di wilayahnya.

Daerah itu seharusnya dilindungi oleh gencatan senjata yang ditengahi oleh Turki dan Rusia pada Maret 2020, tetapi kesepakatan itu secara rutin diabaikan dan penduduk daerah itu hidup dalam ketakutan akan gelombang serangan udara berikutnya.

Sekitar tiga perempat dari perkiraan populasi 3,5 juta melarikan diri ke barat laut untuk menghindari pertempuran di bagian lain negara itu. Kondisi kehidupan sangat buruk dan memburuk sejak jatuhnya mata uang Suriah tahun lalu, yang menyebabkan harga pangan melonjak.

“Rezim menyebut orang-orang di barat laut Suriah teroris. Tapi aksi terorisme itulah yang dilakukan rezim, menyerang warga sipil dan sekolah,” kata Hasso.

“Kadang-kadang orangtua meminta kami untuk menutup gedung sekolah karena mereka sangat takut anak-anak mereka akan mati di sana. Di bagian lain dunia, sekolah dianggap sebagai tempat yang aman… Rezim ingin mengirim pesan bahwa tidak ada masa depan di daerah ini untuk Anda atau anak-anak Anda,” lanjut Hasso. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA