JCPOA merupakan perjanjian mengenai program nuklir Iran yang disepakati oleh Teheran bersama lima negara anggota Dewan Keamanan PBB ditambah Jerman di Wina pada 14 Juli 2015. Berdasarkan perjanjian ini, Iran akan mengurangi program nuklirnya dengan imbalan pencabutan sanksi ekonomi.
Namun pada 2018, Amerika Serikat (AS) di bawah pemerintahan Donald Trump, menarik diri dari JCPOA, dan memberlakukan lebih banyak sanksi dengan kebijakan "tekanan maksimum" pada Iran.
Keluarnya AS dari JCPOA dinilai banyak pihak sebagai sebuah kesalahan.
Wakil Tetap RI di Wina, Dutabesar Darmansjah Djumala mengatakan, langkah AS justru telah meningkatkan ruang manuver dan daya tawar Iran. Iran menjadi merasa tidak terikat lagi dengan JCPOA, yang mendorongnya untuk meningkatkan pengayaan uranium jauh melebihi kesepakatan.
"Dengan keluarnya AS dari JCPOA, mereka (Iran) ada di atas angin," kata Ketua Dewan Gubernur Badan Energi Atom Internasional (IAEA) periode 2017-2018 ini ketika berbicara dalam program diskusi
RMOL World View pada Senin (2/8).
Dubes Djumala mengungkap, hingga saat ini Iran sudah mempu meningkatkan pengayaan uraniumnya hingga 63 persen, semakin mendekati kebutuhan untuk memproduksi hulu ledak nuklir.
Situasi ini membuat sisa negara JCPOA dan dunia mendesak AS untuk kembali ke kesepakatan. Proses renegosiasi pun dimulai.
Tetapi Dubes Djumala mengidentifikasi, terdapat dua kendala yang dihadapi dalam proses negosiasi untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran.
Pertama, adanya perubahan pemerintahan di Iran. Sejak dua pekan lalu, proses negosiasi telah dihentikan sementara hingga Presiden terpilih Iran, Ebrahim Raisi dilantik pada Kamis (5/8).
Sementara batu hambatan kedua, Dubes Djumala mengatakan, sulit bagi kedua belah pihak untuk menentukan batas pengayaan nuklir Iran.
"Iran sudah meningkatkan
bargaining position-nya (dengan meningkatkan pengayaan hingga 63 persen), sementara JCPOA masih di sini (rendah). Pertanyaannya, kalau mau negosiasi, mana yang jadi
departing point? Iran ya
nggak mau mundur. Di sini lah
stumbling block-nya," jelas dia.
Di sisi lain, Dubes Djumala menuturkan, sejak JCPOA disepakati pada 2015 hingga penarikan AS pada 2018, Iran masih mengalami kesulitan ekonomi.
"Yang namanya sanksi memang dicabut, tetapi beberapa orang Iran dihalangi bertransaksi secara internasional dengan bank-bank Eropa, karena bank-bank Eropa ini banyak bank Amerika," tambahnya.
Untuk itu, ia melanjutkan, perlu ada kemauan politik yang kuat untuk membantu Iran meninggalkan nuklirnya dengan bantuan ekonomi.
"Ini memang tidak setahun dua tahun, ini
delicate problem," pungkasnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: