Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Penderitaan Panjang Perempuan Kanada, Hampir Setahun Mengalami Gejala Pasca-Covid

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Senin, 23 Agustus 2021, 13:16 WIB
Penderitaan Panjang Perempuan Kanada, Hampir Setahun Mengalami Gejala Pasca-Covid
Ilustrasi/Net
rmol news logo Satu tahun yang lalu, Kelli Franklin yang lahir di Fredericton, Kanada bagian timur ,adalah seorang perempuan sehat berusia 35 tahun yang bekerja sebagai fisioterapis di Calgary. Namun, semua berubah ketika dia pertama kali didiagnosis terkena Covid-19.

Tidak seperti kebanyakan pasien lain yang mungkin bisa pulih dalam beberapa pekan, Franklin masih menghadapi gejala pasca-Covid hingga sembilan bulan kemudian. Dan ini telah membuat kualitas hidupnya berubah drastis dan tanpa batas waktu.

“Penyakit ini telah merenggut begitu banyak kehidupan saya,” katanya, seperti dikutip dari CBC, Senin (23/8).

“(Penyakit) ini mengambil pekerjaan saya, itu mengambil hubungan saya dengan semua klien saya dan keluarga saya dan teman-teman saya, gairah saya, hobi saya,” ujarnya, pilu,

Kisah itu bermula pada Desember 2020, ketika pertama kali dia merasakan sakit tenggorokan dan hidung tersumbat, yang dengan cepat memburuk. Dia mulai mengalami nyeri dada, sulit tidur, sesak napas dan detak jantung meningkat.

Saat itu dia mengira gejalanya akan berlalu, mengingat usianya yang masih muda.

“Saya pikir, dengan usia yang masih muda, sehat dan cukup aktif, saya hanya akan sakit selama satu atau dua minggu saja,” katanya.

Sejak itu, dia mulai menunda janji dengan kliennya dan mencoba untuk tetap optimis. Tetapi seiring berjalannya waktu, harapan untuk pemulihan  tidak terjadi.

Pasca-Covid, Franklin terus mengalami berbagai gejala dan kondisi, termasuk kelelahan parah, masalah pernapasan, dan rambut rontok.

“Saya perhatikan bahwa setiap sistem di tubuh saya terpengaruh,” kata Franklin.

Franklin dulu memiliki rambut merah panjang keriting. Tapi sejak Desember, rambutnya rontok, dan pigmen rambutnya yang dulu lebat dan cerah, sekarang hilang. Ia mulai panik.

Ia pergi ke rumah sakit, ke ruang gawat darurat dan dokter melakukan berbagai pemeriksaan. Dari situ, aneka pemriksaan berjalan membuatnya banyak membuat janji dengan dokter. Namun, dokter tidak menemukan sesuatu dalam tubuhnya kecuali hanya mengatakan ia hanya kelelahan, 

Franklin cemas, sekaligus tidak mengerti. Setiap waktu yang berlalu adalah tantangan karena setiap bagian tubuhnya pasti merasakan kesakitan. Dokter hanya mengatakan Franklin terkena Long Covid.

Angela Cheung, seorang dokter dan ilmuwan senior di Toronto General Hospital Research Institute, mengatakan bahwa meskipun beberapa kemajuan telah dicapai, pemahaman dan pengobatan Covid-19 masih terus berkembang.

“Perawatan standar untuk penyakit pasca-virus telah membantu beberapa pasien pulih sepenuhnya,” kata Cheung, yang berspesialisasi dalam penelitian Covid dan telah memimpin penelitian seputar penerbangan jarak jauh.

“Kami cukup berhasil merawat pasien sehingga gejalanya membaik, dan ada yang sudah tidak menunjukkan gejala lagi,” katanya. Namun, ada beberapa yang mengalami hal berbeda .

Ada lebih dari 200 gejala yang terkait dengan semua penyakit pasca-virus.

Cheung mengatakan kerontokan rambut adalah gejala umum untuk penyakit apa pun karena berhubungan langsung dengan stres.

“Rambut adalah sesuatu yang sangat sensitif terhadap penyakit dan stres, jadi kita cenderung kehilangan rambut saat sedang tidak sehat,” ujarnya.

Cheung memperkirakan 10 hingga 50 persen kasus Covid-19 mengalami kondisi pasca-Covid.

“Ini bukan perkiraan yang sangat tepat. Saya pikir 10 persen berada di ujung bawah 50 persen berada di ujung atas, mungkin kebenaran terletak di antara kedua angka itu,” katanya.

Perawatan bervariasi dari kasus ke kasus tergantung pada gejala apa yang dimiliki pasien. Cheung mengatakan orang yang mengalami gejala, membutuhkan perawatan untuk pulih.

Ia memberi saran  kepada Franklin dan orang lain yang berjuang dengan Long Covid agar lebih bersabar, baik dengan pemulihan maupun dengan diri mereka sendiri.

“Saya selalu memberi tahu pasien saya bahwa itu akan memakan waktu dan itu akan membutuhkan usaha. Mereka harus 'baik' pada diri mereka sendiri,” katanya. Mengibaratkan bahwa penangan Long Covid bukan seperti orang yang barun tidur di pagi hari.

“Ini tidak seperti Anda bangun keesokan paginya dan semuanya hilang,” lanjutnya.
Sementara Franklin berusaha tetap positif dalam menghadapi masa depan yang tidak diketahuinya.

Belakangan ini, dia jarang keluar rumah, tidak bisa bekerja, dan tidak punya cukup energi untuk menikmati hari-harinya, bahkan untuk hal paling ssederhana seperti menonton televisi atau membuat secangkir kopi.

Tetapi dia berharap ceritanya dapat membantu meningkatkan kesadaran tentang betapa buruknya Covid, tentang kerugian yang ditimbulkannya dan kehidupan orang lain, dan tentang perlunya penelitian lebih lanjut dan berkelanjutan tentang perawatan untuk para penderita dengan gejala berkelajutan. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA