Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

"Diabaikan" Kamala Harris, Indonesia Tak Perlu Berkecil Hati

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/sarah-meiliana-gunawan-1'>SARAH MEILIANA GUNAWAN</a>
LAPORAN: SARAH MEILIANA GUNAWAN
  • Selasa, 24 Agustus 2021, 19:45 WIB
"Diabaikan" Kamala Harris, Indonesia Tak Perlu Berkecil Hati
Wakil Presiden AS Kamala Harris/Net
rmol news logo Tur Wakil Presiden Amerika Serikat (AS) Kamala Harris ke Asia Tenggara telah dimulai sejak 22 Agustus lalu, dengan tanpa menyertakan Indonesia dalam daftar kunjungannya.

Tiba di Pangkalan Paya Lebar pada Minggu (22/8), Harris berada di Singapura selama tiga hari, sebelum melanjutkan perjalanan ke Vietnam pada Selasa (22/8).

Kunjungan Harris memiliki banyak tujuan dan agenda. Salah satu utamanya seputar upaya AS melawan pengaruh China di Indo-Pasifik, khususnya Laut China Selatan, serta penegasan komitmen Washington kepada Asia Tenggara setelah hengkang dari Afghanistan.

Sejak diumumkan hingga dilaksanakan, kunjungan wakil presiden perempuan pertama AS itu telah memicu banyak reaksi di publik. Banyak yang mempertanyakan "pengabaian" Harris terhadap Indonesia.

Pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjajaran (Unpad) Teuku Rezasyah juga ikut menyoroti hal tersebut.

"Aneh tapi nyata, tokoh wanita ini tak mengagendakan Indonesia dalam lawatannya. Bukankah Indonesia negara unggulan di ASEAN, Indo-Pasifik, Organisasi Konferensi Islam, dan Gerakan Non-Blok? Atau Jakarta sudah bukan lagi ibukota diplomatik dari ASEAN?" ujarnya kepada Kantor Berita Politik RMOL beberapa saat lalu.

Menurut Teuku, pengabaian terhadap Indonesia sebenarnya sudah terasa sejak awal pemerintahan Presiden Joe Biden. Terlihat dari dokumen Interim National Security and Strategic Guidance yang dirilis Gedung Putih pada Maret 2021. Dalam dokumen itu tidak ada kata kunci Indonesia, apalagi pentingnya Indonesia bagi pembangunan dunia dan keamanan dunia.

Meski begitu, Teuku menekankan, Indonesia tidak perlu berkecil hati. Lantaran hubungan antara Indonesia dan AS cukup baik dan memiliki banyak kesepahaman.

Buktinya, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto melakukan kunjungan terpisah ke Washington.

Selain itu, kedua negara juga melakukan latihan militer gabungan Garuda Shield yang berlangsung di tiga lokasi terpisah di tanah air, yang merupakan latihan militer terbesar dalam sejarah hubungan kedua negara.

"Tidak dikunjunginya Indonesia sebenarnya baik bagi Indonesia sendiri. Karena dengan demikian, dapat meyakinkan dirinya sendiri sudah menjalankan prinsip bebas aktif secara konsisten," tambah Teuku.

Ia juga mengatakan, Indonesia tidak perlu menunggu penjelasan khusus atas hasil lawatan-lawatan Harris. Sebagai bangsa yang besar, Indonesia memiliki agenda sendiri.

Tanpa penjelasan apapun, ia melanjutkan, Washington akan membutuhkan Indonesia untuk berbagai kesepakatan politik, ekonomi, maupun pertahanan sekecil apapun di Indo-Pasifik.

"Tidaklah perlu bagi Indonesia mengungkit peranan dirinya sebagai palang pintu Indo-Pasifik, dalam hal terjadinya krisis keamanan di Laut China Selatan dan Laut China Timur.  Juga tidaklah perlu bagi Indonesia membuka-buka dokumen Sukhoi 35, guna memanfaatkan momentum pengabaian Washington ini," imbaunya.

Terlepas dari itu, Teuku menyadari pentingnya kunjungan Harris sebagai simbol budaya politik Indonesia.

Walaupun Harris memiliki jadwal yang padat, Teuku sendiri berharap agar orang nomor dua di AS itu dapat transit beberapa jam di Bandara Halim Perdana Kusuma atau Bandara Ngurah Rai. Baik untuk sekadar berjumlah pimpinan Indonesia atau mengundang investor "korban" Perang Dagang AS-China untuk hijrah ke Indonesia. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA