Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Panas Dingin Hubungan Maroko-Aljazair, Warisan Kolonialisme yang Bertahan Hingga Hari Ini

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/sarah-meiliana-gunawan-1'>SARAH MEILIANA GUNAWAN</a>
LAPORAN: SARAH MEILIANA GUNAWAN
  • Selasa, 31 Agustus 2021, 18:18 WIB
Panas Dingin Hubungan Maroko-Aljazair, Warisan Kolonialisme yang Bertahan Hingga Hari Ini
Sekjen Dewan Kerjasama Perdagangan dan Investasi Indonesia-Maroko (DK-PRIMA), Dr. Cecep A. Jamaluddin dalam diskusi RMOL World View pada Senin, 30 Agustus 2021/RMOL
rmol news logo Perkembangan hubungan dua negara tetangga di Afrika Utara, Maroko dan Aljazair, baru-baru ini ditandai dengan pemutusan hubungan diplomatik oleh Aljir terhadap Rabat pada 24 Agustus lalu.

Keputusan itu menambah panjang catatan "badai" yang dihadapi kedua negara sejak puluhan tahun lalu, ketika keduanya masih dikuasai negara kolonial.

Berdasarkan Perjanjian Fez 1912, wilayah Maroko dibagi dua, bagian utara dikuasai Prancis, dan selatan oleh Spanyol. Sementara Aljazair dijajah oleh Prancis.

Pengamat hubungan Indonesia-Maroko, Dr. Cecep A. Jamaluddin mengatakan, pola hubungan antara Maroko dan Aljazair hingga saat ini dipenuhi dengan ketegangan, konfrontasi militer, dan sikap apatis.

Pada 1960-an Maroko merupakan salah satu negara yang mendukung Front Pembebasan Aljazair yang diprakarsai oleh Mesir, Uni Soviet, dan Kuba untuk berusaha melawan pendudukan Prancis.

Tetapi dukungan itu justru memicu "kecurigaan" dari Aljazair lantaran  Maroko mengklaim kota Bechar dan Tindouf yang berada di bawah kendali Prancis, di mana Aljazair yang belum merdeka.

Namun dalam perkembangannya, Prancis justru lebih condong ke Aljazair, yang terlihat dari batas demarkasi.

"Pada titik ini lah ketegangan panas dingin kedua negara berawal... Ada semacam (ketegangan) yang diciptakan kolonial untuk seperti itu, sehingga ada nuansa saling mencurigai," jelasnya dalam diskusi RMOL World View pada Senin (30/8).

Sekjen Dewan Kerjasama Perdagangan dan Investasi Indonesia-Maroko (DK-PRIMA) ini melanjutkan, Maroko kemudian mengerahkan pasukan di luar garis batas yang ditetapkan Prancis pada 1962. Tindakan ini yang memicu pecahnya perang kedua negara pada 1963-1964.

Perang sendiri berakhir setelah ada intervensi dari Liga Arab dan Uni Afrika, serta kesepakatan Maroko dan Aljazair untuk gencatan senjata.

Ketegangan tidak berhenti. Polarisasi perang dingin justru semakin memperumit hubungan Maroko dan Aljazair.

Pada 1975, Maroko menyelenggarakan pawai besar-besaran yang dinamakan Green March. Itu adalah upaya warga Maroko yang dikoordinasikan oleh pemerintah untuk memaksa Spanyol yang sebelumnya menjajah wilayah selatan, memberikan provinsi Sahara.

Ketika itu, 350 ribu warga Maroko dilaporkan berbondong-bondong memasuki wilayah-wilayah yang ada di Sahara Maroko.

Di tengah polarisasi Perang Dingin, Aljazair yang didukung Uni Soviet menolak upaya Maroko untuk menyatakan kedaulatan atas Sahara, yang menjadi wilayah strategis. Aljazair menyebut, "pendudukan" Maroko di Sahara menjadi pemicu pecahnya perang pada 1976.

Alih-alih, Aljazair kemudian mendukung pembentukan Front Polisario yang mengklaim Sahara Barat sebagai negara yang merdeka.

"Akibat perang ini, Aljazair terang benderang memberikan perlindungan kepada para warga Sahrawi dan melindungi mereka di kamp-kamp Tindouf, di mana pembentukan Republik Sahrawi diumumkan, dan Aljazair adalah negara pertama yang mengakui fake republic ini," pungkas Cecep. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA