Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Mantan Bos Mossad: Serangan Teror 9/11 Mendekatkan AS pada Israel

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/sarah-meiliana-gunawan-1'>SARAH MEILIANA GUNAWAN</a>
LAPORAN: SARAH MEILIANA GUNAWAN
  • Minggu, 12 September 2021, 09:28 WIB
Mantan Bos Mossad: Serangan Teror 9/11 Mendekatkan AS pada Israel
Peristiwa serangan teror 11 September 2001, ketika sebuah pesawat menabrakan diri ke menara World Trade Center, New York/Net
rmol news logo Serangan teror yang terjadi pada 11 September 2001 telah mengubah cara pandang Amerika Serikat (AS). Kebijakan keamanan nasional hingga kebijakan luar negeri mereka dirombak.

Dua puluh tahun lalu, AS meyakini dua pesawat yang menabrak World Trade Center di News York, dan pesawat ketiga yang menabrak Pentagon, dilakukan oleh Al Qaeda.

Peristiwa kelam itu merenggut hampir 3.000 nyawa dan 25 ribu orang terluka, dengan kerusakan senilai 2 triliun dolar AS.

Bagi mantan kepala agen mata-mata Israel Mossad, Danny Yatom, serangan itu tidak mengejutkan. Namun fakta serangan dilakukan di Amerika, bahkan di jantung negara itu, itu cukup mengagetkan.

"Ada beberapa petunjuk yang mengindikasikan bahwa teroris akan melakukan serangan terhadap target AS. Tapi tidak ada yang mengira bahwa serangan itu akan dilakukan di jantung AS. Orang Amerika mengira mereka kebal terhadap serangan semacam itu dan tidak ada yang berani melakukannya," ujarnya.

Setelah peristiwa itu, Yatom mengatakan, AS mulai menganalisis apa yang salah. Hal itu membuat Washington merombak kebijakannya.

"Tragedi itu mengubah pendekatan ofensif dan defensif Amerika, mengubah prosedur keamanan mereka. Mereka menjadi lebih teliti dalam memeriksa pelancong, mulai lebih mengandalkan teknologi dan manometer dan menerapkan banyak peraturan tentang apa yang dilarang atau diizinkan dalam penerbangan," jelasnya.

Selain itu, ia juga menekankan, sikap AS dan banyak negara lain terhadap Israel juga berubah. Tak lama setelah serangan, delegasi dari banyak negara Barat mengunjungi Israel.

"Mereka tertarik mempelajari bagaimana kami mengamankan bandara kami (diyakini sebagai salah satu yang paling aman di dunia). Mereka ingin tahu bagaimana kami memperlakukan mereka, siapa yang naik pesawat, bagaimana kami mengklasifikasikan orang dan bagaimana kami menentukan siapa yang bisa menghadirkan bahaya dan siapa yang tidak," terangnya.

Setelah dua dekade berlalu, Yatom mengatakan, dunia tidak menjadi lebih aman, tapip lebih banyak pihak yang menyadari bahaya yang ditimbulkan kelompok radikal. Banyak negara juga memahami bahwa untuk menjaga keamanan nasional, mereka perlu memastikan stabilitas di belahan dunia lain. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA