Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Demi Bertahan Hidup dan Segera Pergi ke Luar Negeri, Warga Afghanistan Beramai-ramai Jual Barang di Pasar Loak

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Senin, 13 September 2021, 16:29 WIB
Demi Bertahan Hidup dan Segera Pergi ke Luar Negeri, Warga Afghanistan Beramai-ramai Jual Barang di Pasar Loak
Barang-barang rumah tangga menumpuk di pasar loak Kabul/Net
rmol news logo Keinginan untuk segera meninggalkan negaranya membuat banyak warga Afghanistan berjuang untuk mendapatkan uang. Mereka pun menjual apa saja yang bisa ditawarkan kepada para pembeli di pasar loak Kabul

Piring, gelas, dan peralatan dapur lainnya, ada juga televisi tahun 1990-an dan mesin jahit Singer tua, hingga segulung karpet yang disandarkan di sofa dan tempat tidur bekas.

Barang-barang itu tentu tidak bisa dijual dengan harga yang layak, mengingat kondisi perekonomian negara itu sedang berantakan. Namun, warga tetap berharap keberuntungan bisa mereka dapatkan untuk sekeping dua keping yang mereka butuhkan.

Sebagian mengaku, menjual barang dan mengumpulkan hasilnya sedikit demi sedikit untuk membantu mendanai pelarian mereka dari kekuasaan Taliban.

Sejak Taliban merebut kekuasaan pada pertengahan Agustus lalu, warga Afghanistan mengatakan kesempatan kerja telah mengering dan mereka hanya diizinkan untuk menarik uang senilai 200 dolar AS (sekitar 2,8 juta rupiah) per minggu dari rekening bank mereka, yang berarti persediaan uang tunai terbatas.

“Kami tidak punya apa-apa untuk dimakan, kami miskin dan kami terpaksa menjual barang-barang ini,” kata Mohammad Ehsan kepada AFP, yang tinggal di salah satu pemukiman di lereng bukit Kabul dan datang ke pasar sambil membawa dua selimut untuk dijual.

Ehsan mengatakan dia dulu bekerja sebagai buruh, tetapi proyek pembangunan dibatalkan atau ditunda.

“Orang-orang kaya berada di Kabul, tetapi sekarang semua orang telah melarikan diri,” ujarnya.

Dia adalah salah satu dari banyak orang Afghanistan yang datang ke pasar loak untuk menjual apa yang bisa mereka tawarkan langsung kepada pembeli, membawa barang-barang mereka di punggung mereka atau menggulingkannya di atas gerobak jalanan yang reyot.

Ehsan mengaku telah hidup dan melalui perubahan demi perubahan di Afghanistan, dan mengatakan dia waspada terhadap klaim perdamaian dan kemakmuran Taliban, karena harga pangan pokok meroket - seperti yang mereka lakukan ketika Taliban terakhir berkuasa dari 1996 hingga 2001.

“Anda tidak bisa mempercayai salah satu dari mereka,” kata Ehsan.

Afghanistan yang miskin bertambah kacau dengan musim kering, kekurangan makanan, dan tekanan serangan Covid-19, serta dampak dari perang panjang dan berkuasanya Taliban, memicu negara-negara barat untuk menekan bantuan yang menopang ekonomi Afghanistan.

Pekan lalu Program Pembangunan PBB sudah memperingatkan bahwa persentase orang yang hidup di bawah garis kemiskinan dapat meningkat dari 72 persen menjadi 97 persen pada pertengahan tahun depan, tanpa tindakan cepat.

Ragmen, pemilik toko atau pengepul yang membeli dan menjual barang bekas mengatakan mereka tidak pernah sesibuk ini.

Salah seorang pengepul bernama Mostafa, berbicara dari kontainer pengirimannya yang sekaligus berfungsi sebagai tokonya, mengatakan kepada AFP bahwa banyak orang yang dia beli barangnya bepergian ke perbatasan dengan harapan bisa segera meninggalkan negara itu.

“Dulu, kami akan membeli barang dari satu atau dua rumah tangga dalam seminggu. Sekarang, jika Anda memiliki toko besar, Anda dapat memiliki isi 30 rumah tangga sekaligus. (Saat ini) orang-orang tidak berdaya dan miskin,” katanya.

“Mereka menjual barang-barang mereka yang bernilai 6.000 dolar AS dengan harga sekitar 2.000 dolar AS,” tambahnya.

Mostafa, yang mengatakan dia tidak punya rencana untuk pergi, mengatakan pembeli di tokonya sering kali adalah mereka yang melarikan diri dari provinsi pedesaan demi keamanan ibu kota ketika Taliban melancarkan serangan besar-besaran mereka.

Seorang tukang kain lainnya, yang tidak mau disebutkan namanya karena takut akan keselamatannya, mengatakan bahwa dia baru mendirikan kiosnya dalam beberapa pekan terakhir.

“Saya adalah seorang pelatih di militer selama 13 tahun,” katanya, seraya menambahkan bahwa dia hidup dalam ketakutan di bawah kekuasaan Taliban.

“Sayangnya, masyarakat kami terbalik, jadi kami terpaksa melakukan hal lain. Saya menjadi ragman, kami tidak punya pilihan lain,” katanya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA