Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kebangkitan Taliban, Invasi Pakistan dengan Wajah Afghanistan?

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/amelia-fitriani-1'>AMELIA FITRIANI</a>
LAPORAN: AMELIA FITRIANI
  • Rabu, 15 September 2021, 17:13 WIB
Kebangkitan Taliban, Invasi Pakistan dengan Wajah Afghanistan?
Pakistan disebut-sebut sebagai negara yang mengambil andil besar dalam keberhasilan terbaru Taliban untuk memerintah di Afghanistan/Net
rmol news logo Pakistan menjadi negara yang kerap disematkan dengan kebangkitan kelompok militan Taliban yang merebut kekuasaan di Afghanistan baru-baru ini. Pakistan disebut-sebut sebagai negara yang mengambil andil besar dalam keberhasilan terbaru Taliban untuk memerintah di Afghanistan.

Bahkan selama pertempuran terbaru di wilayah Lembah Panjshir awal bulan ini, Pakistan juga dikabarkan menjadi salah satu faktor kemenangan Taliban atas wilayah itu.

Negara-negara Barat, termasuk NATO, telah menunjuk hidung Pakistan sebagai negara yang juga bertanggungjawab atas ketegangan di Afghanistan.

Hal ini menjadi sorotan banyak pihak, termasuk media-media di India. Meski bertetangga, India dan Pakistan memang memiliki gesekan hubungan yang membuat kedua negara sulit rukun.

Ada salah satu ulasan mendalam serta menyuguhkan sudut pandang lain terkait dukungan Pakistan terhadap Taliban yang dibuat oleh media India, WION, dalam program Gravity Plus berjudul "Why Pakistan Supports the Taliban" yang juga bisa diakses di saluran YouTube resmi mereka pekan kemarin.

Alumni Darul Uloom

Sang pembawa acara, yang juga bertindak sebagai narator, Palki Sharma memulai dengan menyoroti susunan pemerintahan baru bentukan Taliban di Afghanistan. Banyak di antara mereka merupakan alumni dari sebuah "Universitas Jihad" di Pakistan.

Dia merujuk pada Darul Uloom Haqqania, yakni sebuah lembaga pendidikan agama berupa pesantren serta madrasah yang terletak di kota Akora Khattak, provinsi Khyber Pakhtunkhwa, barat laut Pakistan. Pesantren ini, menyebarkan radikalisme.

Dia menjelaskan, pada waktu tertentu, pesantren ini bisa menampung setidaknya empat ribu siswa yang sebagian besar merupakan pengungsi Afghanistan. Mereka diberikan makanan, pakaian dan pendidikan secara gratis.

Mengapa bisa gratis?

Kabarnya, hal ini karena ada bantuan dana dari partai politik Pakistan yang menganggap lembaga pendidikan agama tersebut sebagai bagian integral dari tatanan teokratis Pakistan. Lembaga pendidikan ini kabarnya juga mendapatkan dukungan terbuka dari Islamabad serta mengirim "teroris" untuk melakukan apa yang mereka sebut sebagai perang suci di Afghanistan.

"Namun niat mereka sama sekali tidak suci. Darul Uloom pada dasarnya adalah pabrik teror yang secara terbuka mengajarkan muslim tentang jihad dan secara rutin menghasilkan teroris yang ditakuti, termasuk pada petinggi Taliban," ujar Sharma.

Lalu, siapa saja pemimpin top Taliban yang merupakan lulusan Darul Uloom?

Ada nama Mullah Akhtar Mansour, co-founder Taliban yang terbunuh dalam serangan pesawat. tanpa awak Amerika Serikat tahun 2016 lalu. Selain itu ada juga Mullah Omar, pendiri Taliban. Dia bahkan mendapat gelar doktor kehormatan dari Darul Uloom.

Bukan hanya itu, ada juga nama Jalaluddin Haqqani, pendiri Jaringan Haqqani dan putranya, Sirajuddin Haqqani yang juga merupakan alumni lembaga pendidikan tersebut. Sirajuddin Haqqani sekarang memimpin Jaringan Haqqani dan menjadi Menteri Dalam Negeri dalam pemerintahan baru Taliban di Afghanistan.

Alumni Darul Uloom lainnya antara lain adalah Mullah Abdul Latif, Menteri Air dan Energi Taliban. Ada juga Najibullah Haqqani, Menteri Telekomunikasi Taliban, dan Khalil Rahman Haqqani, Menteri Urusan Pengungsi Taliban.

Namun Darul Uloom bukan yang pertama dan satu-satunya "instrumen" bagi Pakistan, melainkan hanya salah satu kepingan puzzle. WION memberikan sorotan lebih jauh pada dukungan Pakistan selama beberapa dekade belakangan pada aspek keuangan, politik, diplomatik dan militer yang canggih bagi Taliban.

"Tujuannya sangat jelas, Pakistan ingin menjadikan Afghanistan sebagai provinsi keenamnya," kata Sharma.

Paranoid Pakistan

Selalu ada alasan dan penjelasan di balik setiap tindakan, terebih jika menyangkut urusan negara dan kepentingan nasional. Dukungan yang diberikan oleh Pakistan kepada Taliban pun bukan tanpa penjelasan. Ada sejarah yang mendalam di balik hal itu.

WION menarik garis mundur ke tahun 1971 tepatnya setelah Perang Saudara yang pahit antara India dan Pakistan terjadi kala itu. Perang menyebabkan wilayah yang disebut "Pakistan Timur", yakni sebuah wilayah yang didominasi oleh komunitas berbahasa Bengali, menggulingkan penguasa berbahasa urdu dari Pakistan Barat. Hal itu membuat wilayah tersebut kemudian memisahkan diri dan menjadi Bangladesh.

Kehilangan ini membuat Pakistan paranoid dan takut akan kehilangan wilayah lainnya, terutama Balochistan dan Khyber Pakhtunkhwa yang berbatasan dengan Afghanistan.

Khyber Pakhtunkhwa sendiri merupakan salah satu provinsi di Pakistan dengan ibukotanya adalah Peshawar. Wilayah ini adalah rumah bagi komunitas Pasthun, yakni etnis yang populasinya tersebar di daerah timur dan selatan Afganistan dan di Provinsi Perbatasan Barat Laut Pakistan yang dipisahkan oleh garis batas yang disebut Garis Durand, bentukan Inggris.

"Sejak 1947 pemerintahan Afghanistan secara berturut-turut telah menolak Garis Durand, karena telah mempromosikan penyebab satu Pashtunistan. Pakistan tentu tidak menginginkan ini," ujar Sharma.

Oleh karena itu, Pakistan kemudian membangun "seminari" atau lembaga pendidikan keagamaan, seperti pesantren dan madrasah yang mengusung radikalisme dengan harapan bahwa nasionalisme Islam akan membayangi nasionalisme Pashtun. Hal ini dilakukan demi mencegah kehilangan serupa yang pernah Pakistan alami. Mereka mencegah kemungkinan pembentukan negara Pashtun.

Langkah tersebut ditempuh oleh Kepala Militer Pakistan yang merebut kekuasaan melalui kudeta pada tahun 1978 silam, yakni Jenderal Zia Ul-Haq. Antara tahun 1978 hingga 1988, dia membuka hampir 1.200 sekolah agama atau mandrasah di Pakistan. Kebanyakan dari madrasah yang dibuka itu terletak di wilayah barat laut Pakistan, yang dekat dengan perbatasan Afghanistan.

Merujuk pada narasi yang dipaparkan WION, madrasah-madrasah ini kemudian digunakan untuk menekan nasionalisme Pashtun.

Membunuh Dua Burung dengan Satu Batu

Pada waktu yang bersamaan dengan dibukanya ribuan madrasah di Pakistan itu, kelompok jihad Afghanistan memperoleh momentum. Dengan dukungan dari Amerika Serikat, mereka melancarkan "perang suci" melawan Uni Soviet di Afghanistan.

Selama periode 1979 hingga 1989 Perang Soviet-Afghanistan itu, Pakistan menjadi negara yang berdiri di belakang para mujahidin.

"Membunuh dua burung dengan satu batu, loyalitas dari mujahidin dan uang dari Amerika Serikat," kata Sharma.

Pada masa itu, Badan Intelijen Pusat Amerika Serikat (CIA) menggelontorkan dana dan peralatan untuk agen mata-mata Pakistan, Inter-Services Intelligence (ISI).

ISI membantu melatih para mujahidin Afghanistan. Pada tahun 1980an, sekitar 90 ribu warga Afghanistan dilatih oleh ISI. Termasuk di antara mereka adalah Mullah Omar, pendiri Taliban.

Partner in Crime

Kemudian pada tahun 1996, Taliban berhasil merebut kekuasaan di Afghanistan. Saat itu, hanya ada tiga negara yang mengakui pemerintahan Taliban di Afghanistan, yakni Pakistan, Uni Emirat Arab dan Arab Saudi.

Pakistan mengambil peranan penting pada saat itu, bukan hanya dukungan diplomatik, tapi juga keuangan hingga infrastruktur.

"Pakistan memberikan apapun yang Taliban inginkan, termasuk tempat yang aman setelah kampanye Perang Melawan Teror yang dilakukan Amerika Serikat pasca 9/11," papar Sharma.

Sejak 9/11, para pemimpin politik Taliban melakukan aktivitas di tiga kota yang berbeda di Pakistan, yakni Peshawar, Quetta and Rawalpindi. Begitu erat ketiga kota tersebut, sampai-sampai Taliban menambahkan kata "shura" pada nama-nama kota itu, yang berarti "dewan".

Sebagai contoh, Quetta Shura merupakan tempat bagi Rabbari Shura, yakni dewan yang berwenang untuk. membuat keputusan di tubuh Taliban.

Selain tiga kota tersebut, Taliban juga memiliki "pengaruh" di Waziristan, sebuah wilayah di Pakistan barat laut, berbatasan dengan Afganistan. Dalam hal ini, Taliban dibantu oleh "partner in crime" mereka, yakni Jaringan Haqqani.

Wilayah perbatasan kedua negara ini administrasinya berhasil dibuat informal pada saat itu. Hal inilah yang kemudian menjadi alasan mengapa penyelundupan narkoba, senjata, dan teroris lintas batas bisa terjadi. Pada masa itu, ratusan truk bisa melintas tanpa pemeriksaan setiap harinya.

Invasi Pakistan dengan Wajah Afghanistan

Kini, dengan kemenangan terbaru Taliban di Afghanistan, Pakistan menjadi negara yang berdiri di belakang kelompok militan tersebut.

Sharma dalam program itu memaparkan data dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat yang memperkirakan bahwa saat ini sekitar 40 persen dari jajaran Taliban adalah orang Pakistan.

Bahkan pada waktu tertentu, ada lebih dari 1.000 orang Pakistan yang direkrut oleh Taliban.

"Mereka adalah mata dan telinga Pakistan," kata Sharma.

Peranan Pakistan bisa terlihat dalam pertempuran terbaru Taliban untuk merebut wilayah terakhir di Afghanistan, yakni Lembah Panjshir beberapa waktu lalu.

Merujuk pada Human Right Watch, berdasarkan data di lapangan, Pakistan bisa memberikan dukungan militer secara langsung dengan mudah ke Taliban.

"Kita lihat di Panjshir, invasi Pakistan dengan wajah Afghanistan," kata Sharma.

Dia merujuk pada dukungan Pakistan dalam pertempuran di Panjshir di mana Unit Pasukan Khusus Angkatan Darat Pakistan (SSG) kabarnya terlihat di medan pertempuran.

Bukan hanya itu, sejumlah helikopter dan peralatan tempur Pakistan lain juga terlihat ikut terlibat dalam upaya Taliban merebut Panjshir.

"Keterampilan militer Taliban secara mengejutkan menjadi berkali-kali lipat hanya dalam satu malam pertempuran," kata Sharma.

Benarkah Pakistan Ambil Peranan Sebesar Itu di Afghanistan?

Meski banyak negara Barat, termasuk NATO menuding Pakistan memiliki tanggungjawab atas ketegangan di Afghanistan, namun Pakistan kerap menepis dan menyanggah semua itu.

Salah satu sanggahan dilontarkan oleh Dutabesar Pakistan untuk Rusia Shafqat Ali Khan beberapa waktu lalu. Kepada Sputnik dia mengatakan bahwa Islamabad tidak pernah mengendalikan situasi di Afghanistan.

"Jadi bukan karena kami memiliki semacam kontrol atas Afghanistan. Tetapi geografi, budaya, sejarah, dan, tentu saja, bahasa dan fakta bahwa ada empat juta pengungsi yang tinggal di Pakistan. Itu memberi kami semacam peran, tetapi tidak mengendalikan situasi," ujarnya.

Khan juga mengatakan, sejarah telah menunjukkan bahwa Afghanistan tidak dapat didikte oleh orang lain. Untuk itu, dia berharap agar publik tidak mengalihkan tanggung jawab atas apa yang terjadi di Afghanistan kepada Pakistan. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA